Bank dan Pencemaran Lingkungan

Senin, 30 September 2019 - 07:30 WIB
Bank dan Pencemaran Lingkungan
Bank dan Pencemaran Lingkungan
A A A
Almaududi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pemerhati Hukum Bisnis dan Ketenagakerjaan

DARURAT asap, itulah frasa yang tepat menggambarkan situasi yang terjadi hampir di sebagian Pulau Sumatera dan Kalimantan beberapa pekan ini. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seolah menjadi rutinitas tahunan yang tidak berkesudahan. Rencana jangka pendek untuk mengatasi karhutla tentu sudah dipikirkan dan dilaksanakan. Selanjutnya adalah tugas penegak hukum untuk memastikan penerapan sanksi secara tegas. Bukan hanya kepada perseorangan, tetapi juga kepada perusahaan/korporasi yang terbukti bersalah.

Untuk mencegah berulangnya permasalahan sama pada tahun mendatang, sudah saatnya arah kebijakan pemerintah menyasar pihak-pihak lain yang secara tidak langsung menyebabkan terjadi pencemaran lingkungan. Satu di antaranya lembaga perbankan.

Agen Pencemaran Lingkungan
Menghimpun dana masyarakat dan selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada penggunaan atau investasi yang efektif merupakan fungsi utama bank. Tidak heran bank disebut juga sebagai agen pembangunan (agent of development) untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.

Meski demikian, apa jadinya jika dana yang disalurkan bank ternyata berakibat pada kerusakan lingkungan yang mengancam hidup rakyat banyak. Mungkin hanya segelintir orang yang menyadari bahwa bank telah ikut andil menyebabkan terjadi pencemaran lingkungan.

Bagaimana tidak, hampir seluruh proyek yang bernilai miliaran bahkan triliunan mendapat kredit/pembiayaan dari bank. Mulai dari pembukaan lahan perkebunan, eksplorasi dan eksploitasi tambang, sampai pada pembangunan pembangkit tenaga listrik.

Kendati demikian, lembaga perbankan seolah masih belum peduli dengan dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek tersebut. Padahal, tidak selayaknya bank memperoleh keuntungan pada saat sebagian bangsa ini menderita akibat tercemarnya lingkungan hidup.

Perekonomian Berwawasan Lingkungan
Secara tegas Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menggariskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip berwawasan lingkungan. Namun, pelaksanaan amanat konstitusi tersebut masih jauh panggang dari api. Meskipun terdapat 73 peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun tidak terlihat peraturan di bidang perekonomian yang serius memperhatikan aspek lingkungan hidup.

Kebijakan yang diambil pemerintah hanya terlihat sebagai retorika yang minim implementasi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2016-2019 ditekankan pentingnya pembangunan ekonomi dengan mempertahankan kualitas lingkungan hidup. Faktanya, belum ditindaklanjuti dengan kebijakan berwawasan lingkungan yang menyasar lembaga perbankan. Padahal, bank merupakan satu di antara pilar menggerakkan roda perekonomian bangsa.

Memang terdapat kewajiban bagi bank untuk melakukan evaluasi terhadap pengelolaan lingkungan hidup calon debitur. Sebagaimana diatur dalam PBI 14/15/PBI/2012 jo. SEBI Nomor 15/28/DPNP/2013. Berdasarkan peraturan tersebut, bank harus memastikan ada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bagi debitur berskala besar atau berisiko tinggi.

Meskipun demikian, evaluasi aspek lingkungan hidup yang dilakukan oleh bank adalah dalam rangka menilai prospek usaha debitur sehingga peraturan tersebut lebih mencerminkan upaya bank dalam melindungi kredit yang akan dikucurkan. Dengan kata lain, ketentuan terkait aspek lingkungan hidup terlihat sebagai pelengkap dalam peraturan yang ada. Belum tampak peranan bank dalam mencegah berlanjutnya kerusakan lingkungan hidup.

Sanksi Tidak Mendapat Fasilitas Pembiayaan

Pengaturan sanksi dalam hukum lingkungan hidup bisa dibilang paling lengkap. Terdapat sanksi administrasi, sanksi perdata, serta sanksi pidana sebagaiultimum remedium. Namun, kenyataannya, sanksi-sanksi tersebut masih belum maksimal dalam mencegah pencemaran lingkungan hidup.

Hampir setiap tahun berulang terjadi karhutla, pencemaran air dan udara, sertaillegal dumping. Pelakunya bisa jadi pemain baru atau merupakan orang atau korporasi sebagai pemain lama. Karena itu, dibutuhkan sanksi yang secara langsung menyasar struktur pendanaan kegiatan usaha para pencemar lingkungan. Satu di antaranya dengan mempersulit atau mencegah pelaku pencemaran untuk mendapat fasilitas pembiayaan/kredit dari lembaga perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan lain.

Dengan menggunakan data pelaku pencemaran dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, seharusnya dapat diklasifikasikan perusahaan yang masuk dalam daftar hitam (blacklist) untuk memperoleh pembiayaan/kredit dari bank. Pada sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator seyogianya tidak hanya menjadi penonton dan pemberi imbauan. Harus terdapat aturan main yang jelas bagi perbankan. Di samping itu, harus terdapat juga sanksi tegas bagi bank yang melanggar.

“Collective Well-Being”
Apa keuntungan pesatnya pembangunan jika cara membangunnya sangat merusak keberlanjutan planet ini dalam jangka panjang. Apa pentingnya peningkatan perekonomian jika pada akhirnya membawa sengsara dan nestapa pada bangsa.

Untuk itu, apa yang disampaikan Nicola Sturgeon selakuFirst Minister of Scotlandpatut untuk direnungkan. Tujuan kebijakan ekonomi haruslah kesejahteraan kolektif (collective well-being). Dalam arti, betapa bahagia (happy) dan sehatnya (healthy) suatu populasi, tidak terbatas pada seberapa kaya (wealthy) populasi tersebut.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5282 seconds (0.1#10.140)