Energi untuk Keamanan Nasional

Senin, 09 September 2019 - 06:34 WIB
Energi untuk Keamanan Nasional
Energi untuk Keamanan Nasional
A A A
Mudi Kasmudi
Praktisi Energi, Industri, dan Pertambangan

PADA 4 Agustus 2019, kita diingatkan pada peristiwa pemadaman total (blackout ) di Jawa-Bali yang diawali dengan gangguan pada sistem Saluran Udara Tegangan Ekstra-Tinggi (SUTET) Ungaran-Pemalang. Akibatnya kurang lebih 152 juta penduduk Jawa-Bali (58% dari total penduduk) mengalami pemadaman, industri dan pabrik berhenti, fasilitas publik padam, bahkan Ibu Kota lumpuh, KRL dan MRT berhenti, transaksi elektronik dan jaringan telekomnuikasi terganggu. Kejadian itu membuka mata kita bahwa keamanan nasional (national security ) mudah dilumpuhkan (vulnerability).

Setelah 74 tahun Indonesia merdeka, keamanan nasional memerlukan redefinisi karena bukan hanya keamanan terhadap gangguan atau serangan musuh, tetapi yang tidak kalah penting adalah keamanan terhadap fasilitas energi nasional dari gangguan teknis maupun nonteknis. Misalnya bencana alam, sabotase, dan teror terhadap fasilitas energi, jaringan SUTET, gardu induk, pembangkit listrik, pusat-pusat kontrol, terminal BBM, LPG-LNG, pelabuhan kapal tanker, pengeboran minyak baik offshore maupun onshore , kilang minyak dan gas (migas), tambang batu bara, pipeline , yang mengakibatkan terhentinya suplai energi.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah mengalami peristiwa blackout. Negara-negara maju sekalipun seperti AS, Kanada, Jepang pernah mengalaminya, yang disebabkan faktor teknis maupun nonteknis. Departemen Energi Amerika Serikat (AS) mencatat, antara 1970 sampai pertengahan 1980 terjadi serangan fasilitas energi seperti pembangkit listrik, gardu induk, pipeline, terminal migas, kilang minyak dan sumur migas, kapal tanker dan fasilitas lainnya dalam jumlah 366 insiden, di dalam negeri 174 insiden dan di luar negeri 192 insiden (Lovins,2001).

Mengapa Energi untuk Keamanan Nasional

Dapat dibayangkan apabila fasilitas energi mengalami gangguan dalam waktu yang lama seperti listrik blackout, kilang migas berhenti, impor BBM berhenti, karena negara sumber BBM sedang berkonflik, atau fasilitas energi lainnya berhenti beroperasi. Maka akibatnya akan terjadi gejolak stabilitas politik tidak terkendali yang berujung negeri ini akan jatuh ekonominya karena tingkat kepercayaan kepada keamanan nasional menurun, bahkan hilang. Oleh karena itu keamanan energi nasional adalah pilar kekuatan nasional.

Keamanan nasional, menurut Brown (1983), sekretaris pertahanan AS, adalah kemampuan nasional untuk menjaga wilayah teritorial, ekonomi, dan melindungi institusi dan pemerintahan dari gangguan luar. Akan tetapi setelah berakhirnya Perang Dingin (Cold War ) serta di era globalisasi dan keterbukaan, keamanan nasional meliputi stabilitas ekonomi, lingkungan, sistem informasi, dan tidak semata pada batas teritorial (Watson, 2008).

Sebagai perbandingan, konsep keamanan nasional AS berubah setelah tragedi 11 September 2001 dan pada periode presiden George W Bush, keamanan nasional tidak hanya mempertahankan batas teritorial semata, tetapi termasuk melindungi warga negara di luar negeri, melindungi akses dan aset negara.

Sebab Mudah Dilumpuhkan

Beberapa sebab keamanan nasional mudah dilumpuhkan antara lain, pertama, fasilitas energi yang terpusat dalam jumlah besar seperti pembangkit listrik, kilang minyak, terminal BBM dan lainnya sehingga apabila terjadi gangguan akan mudah lumpuh. Sebagai contoh pada peristiwa blackout pada Agustus lalu, salah satu penyebabnya adalah ketika terjadi gangguan pada sistem SUTET di bagian tengah, sistem di timur kekurangan beban sehingga pembangkit listrik yang sebagian terpusat di Paiton, terjadi trip (mati), akibatnya sistem bagian barat kelebihan beban sehingga pembangkit listrik yang sebagian terpusat di Suralaya, terjadi trip.

Dari fakta sejarah, dalam perencanaan strategi militer, menyerang pusat-pusat energi merupakan target utama seperti pembangkit listrik, kilang minyak, terminal BBM, dan fasilitas energi lainnya. Pada Perang Dunia Kedua, AS dan Sekutu melumpuhkan Jerman dengan pengeboman pembangkit listrik dan gardu induk, yang mengakibatkan industri sipil dan militer Jerman lumpuh.
Berbeda dengan Jepang yang sulit ditaklukkan sekutu, karena memiliki pembangkit listrik tenaga air yang tersebar, walaupun akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat, setelah dibom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Belajar dari pengalaman masa lalu, negara-negara dengan militer yang kuat seperti AS, Prancis, Inggris, Soviet Rusia, China telah memikirkan desentralisasi energi yang tersebar dengan argumen, bahwa desentralisasi energi merupakan faktor yang sangat penting dalam sistem pertahanan sipil.

Kedua, interkoneksi jaringan belum rapat. Peristiwa blackout yang lalu salah satu sebabnya adalah titik (node) interkoneksi jaringan SUTET dan Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET), antara sistem utara dan selatan belum terhubung rapat, sehingga apabila terjadi gangguan pada satu node, maka sistem tidak dapat mengisolasi gangguan agar tidak menyebar ke jaringan lain.
Oleh karena itu, karena kita negara kepulauan, keamanan energi nasional akan semakin tinggi. Apabila interkoneksi transmisi energi direalisasi antarpulau seperti kabel listrik high voltage DC (HVDC) bawah laut dan subsea pipeline migas, yang menghubungkan antarpulau besar terdekat.

Ketiga, kemandirian teknologi, komponen penting pembangkit listrik yang besar dikuasai oleh negara-negara maju seperti AS, Jepang, Eropa, dan belakangan China dan Korea. Komponen pembangkit yang rumit adalah turbin-generator. Apabila terjadi kerusakan pada pembangkit besar diperlukan waktu yang lama untuk perbaikan.

Ketergantungan kepada negara lain membuat keamanan energi nasional mudah dilumpuhkan. Kita tidak usah terlalu tinggi untuk mau menguasai teknologi pembangkit yang besar-besar, cukup sampai kapasitas 15 MW dan lebih spesifik lagi, fokus pada penguasaan teknologi pembangkit listrik dari energi terbarukan (renewable ) seperti PLTA dan panas bumi.

Pembangkit listrik dari energi terbarukan, dengan skala kecil yang tersebar ini, akan meningkatkan keamanan energi nasional. Indonesia memiliki potensi PLTA 94,5 GW yang tersebar, baru termanfaatkan 7,4%, sedangkan potensi panas bumi 29,5 GW, baru termanfaatkan 4,9%. Energi terbarukan ini salah satu pilar keamanan energi nasional ketika energi migas dan batu bara mulai menipis.

Keempat, energi baru dari sumber daya mineral. Indonesia salah satu negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel di samping sebagai bahan baku stainless steel , juga sebagai bahan utama battery yang digunakan sebagai penyimpan energi untuk kendaraan listrik, pembangkit listrik tenaga surya, dan tenaga angin.

Betapa strategisnya mineral nikel di masa datang sehingga pemerintah segera menghentikan ekspor bijih (ore) dan kembali memberlakukan UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009. Disamping itu, Indonesia mempunyai sumberdaya , thorium dan uranium untuk Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). PLTN untuk keamanan energi nasional pernah penulis publikasikan pada sindo, 18 Agustus 2015.

Keamanan nasional sangat tergantung pada keamanan energi nasional sehingga pemerintah harus mempertimbangkan keamanan nasional dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN, Kebijakan Energi Nasional (KEN), dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang merupakan acuan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) nasional. Tidak bisa dimungkiri, keamanan nasional memerlukan anggaran besar.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6627 seconds (0.1#10.140)