Soal Impor Rektor, Begini Langkah yang Ditempuh Pemerintah

Rabu, 31 Juli 2019 - 18:04 WIB
Soal Impor Rektor, Begini Langkah yang Ditempuh Pemerintah
Soal Impor Rektor, Begini Langkah yang Ditempuh Pemerintah
A A A
JAKARTA - Rencana Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk mendatangkan rektor atau dosen dari luar negeri mendapatkan lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyiapkan peraturan yang akan dijadikan sebagai landasan hukum dalam menerapkan kebijakan untuk mengundang rektor, guru besar, maupun dosen dari luar negeri.

”Saya laporkan Presiden sangat setuju. ’Wah, ini Pak Menteri berani melangkah, saya dukung Pak Menteri, jalan terus’,” ucap M Nasir kepada wartawan di Jakarta, Selasa 30 Juli 2019.

Nasir mengatakan, kebijakan tersebut kemungkinan besar akan mulai dieksekusi pada 2020.”Pada 2019 ini saya akan memperbaiki peraturannya. Hari ini, saya rapat membahas tentang itu, mana regulasi-regulasi yang menghambat, kami akan pangkas semua,” katanya.
Salah satunya aturan yang dinilai menghambat, yakni peraturan yang ada sekarang dalam pemilihan rektor selalu disebutkan harus warga negara Indonesia (WNI). ”Itu akan kami coba buka dulu. Kedua, kita yang masalah kenaikan jabatan dan semuanya kita sederhanakan,” katanya.

Ketiga, profesor dari luar negeri harus adaptif dengan peraturan di dalam negeri. Selama ini, aturan yang ada dinilai belum linier. Misalkan profesor asing yang akan masuk ke dalam negeri masih harus menjalani tahapan penilaian terlebih dahulu. ”Harusnya kita perbaiki peraturan itu. Peraturan yang mengatur rektor dari asing itu belum ada,” katanya.

Tidak hanya itu, karena kebijakan ini nantinya akan menyangkut dengan pendanaan, misalkan ketika pemerintah harus mendanai maka hal ini akan dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan terlebih dahulu agar bisa lebih disederhanakan.

”Saya ingin perguruan tinggi itu seperti korporasi, tapi korporasi di dalam pendidikan, tapi tidak orientasinya pada bisnis,” katanya.

Menurut Nasir, kebijakan tersebut harus dikaji dan disiapkan peraturan yang sesuai. Sebab, tidak mungkin menjadikan perguruan tinggi kelas dunia, namun renumerasi yang diterima para dosen, profesor, atau rektornya belum sesuai dengan standar internasional.

Saat ini, kata mantan Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang ini, perguruan tinggi di Indonesia belum ada satupun yang masuk dalam 200 besar perguruan tinggi kelas dunia. Dari sekitar 4.715 perguruan tinggi yang ada di Indonesia, hanya ada tiga perguruan tinggi yang masuk dalam 500 besar kampus terbaik di dunia.

Pertama, Universitas Indonesia (UI) masuk di 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 351, dan Universitas Gajah Mada di posisi 392. ”Yang masuk 200 dunia belum ada. Ini ada tiga, juga 500 (besar dunia),” paparnya.

Menurut Nasir, kebijakan tersebut nantinya akan diterapkan di perguruan tinggi tertentu saja. Misalnya, perguruan tinggi yang dinilai sudah memiliki kualitas memadahi untuk ditingkatkan standar internasionalnya.

Dia menjelaskan sejumlah universitas luar negeri yang sukses umumnya karena berkolaborasi dengan perguruan tinggi asing. Dia mencontohkan di sejumlah perguruan tinggi di Singapura, rektor dan guru besarnya banyak orang asing. Begitu pula di Arab Saudi.

”King Fahd University of Petroleum and Minerals, itu pada 2005 rangkingnya di atas 500 dunia, tapi sekarang berapa? 189 dunia. Apa yang dilakukan mengundang profesor asing untuk bisa mengajar di situ. Jumlahnya berapa, sekitar 40 persen kurang lebih, jadi cukup besar,” katanya.

Namun, jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia, kemungkinan belum sampai di angka 40%, tapi hanya sekitar 15% saja pengajarnya yang dari luar negeri. Itupun baru akan diterapkan di perguruan tinggi tertentu saja.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0174 seconds (0.1#10.140)