Indonesia Sehat 4.0: Kita Ada di Mana?

Jum'at, 12 Juli 2019 - 08:30 WIB
Indonesia Sehat 4.0:  Kita Ada di Mana?
Indonesia Sehat 4.0: Kita Ada di Mana?
A A A
Budi Wiweko
Guru Besar FKUI, Ketua Komisi 2 Senat Akademik UI,
Wakil Direktur Indonesian Medical Education Research Institute (IMERI)
FKUI - RS Dr Cipto MangunkusumoKEMAJUAN teknologi digital, big data, artificial intelligence (AI) dan genomik dalam dua dekade terakhir telah membawa semangat serta arus perubahan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan. Konsep inovasi disrupsi, sebagai sebuah langkah terobosan yang memimpin perubahan dalam masyarakat serta memengaruhi pasar secara dominan, sangat terfasilitasi dan terakselerasi oleh Revolusi Industri 4.0.
Survei National Health Services (NHS) 2019 menyatakan dengan tegas bahwa kemajuan teknologi yang saat ini memberikan kontribusi lebih dari 80% terhadap layanan maupun tenaga kesehatan adalah kemampuan dalam menganalisis genomik, diikuti oleh penggunaan perangkat telepon pintar, teknologi pengenal suara, penggunaan AI dalam memprediksi, dan penggunaan perangkat diagnostik cerdas.

Masalah Kesehatan di Indonesia

Di Indonesia berbagai permasalahan besar masih membayangi dunia kesehatan pada era Revolusi Industri 4.0. Data riset kesehatan 2018 menunjukkan buruknya indikator berbagai penyakit degeneratif seperti obesitas, hipertensi, penyakit ginjal kronik, dan kencing manis. Tidak kurang dari 21,8% proporsi penduduk Indonesia mengalami obesitas, prevalensi kencing manis mencapai 2%, serta jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang mencapai 3,8 per mil pada populasi di atas usia 15 tahun.

Angka ini tergolong tinggi bila dibandingkan prevalensi di negara tetangga atau pun negara maju di dunia. Tidak hanya itu, dampak kebiasaan merokok yang semakin meningkat juga memiliki kontribusi negatif pada masyarakat. Ibu-ibu hamil mengalami anemia, yang menjadi variabel penting penyebab kematian ibu.

Di sisi lain, penyakit infeksi tuberkulosis dan demam berdarah masih menjadi momok menakutkan dengan case fatality rate yang cukup tinggi. Kita merupakan negara peringkat kedua untuk prevalensi tuberkulosis tertinggi di dunia—setelah India.

Meningkatnya angka harapan hidup serta berkah keberhasilan program keluarga berencana akan membawa kita pada bonus demografi pada 2030. Namun, sekitar 15% populasi Indonesia atau sekitar 45 juta penduduk pada 2030 merupakan kelompok usia lanjut, yang memerlukan antisipasi yang baik dalam pengelolaannya.

Para pengambil kebijakan dan profesional tenaga kesehatan negeri ini perlu sensitif, untuk mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan cepat sehingga bisa menghasilkan inovasi disrupsi dalam memecahkan berbagai permasalahan besar di atas.

Big Data, Bioinformatika, dan AI sebagai Kunci

Potensi big data kesehatan yang merupakan kombinasi data klinik dan genomik dapat dimanfaatkan sebagai daya ungkit untuk menjelaskan faktor risiko kesehatan individu secara kuantitatif dan biokimiawi.

Pada dasarnya suatu penyakit noninfeksi dapat terjadi bila ada kombinasi dan interaksi antara faktor genetik, kebiasaan hidup, serta lingkungan. Perubahan coding asam basa DNA, proses metilasi-demetilasi, dan asetilasi-deasetilasi merupakan faktor penyebab terjadinya over expression atau under expression sebuah gen peletup penyakit degeneratif tertentu.

Dibutuhkan keilmuan bioinformatika dalam menerjemahkan data klinik dan genomik menjadi sebuah algoritma dalam mengenali secara dini faktor risiko penyakit, sehingga memungkinkan kita untuk melakukan pencegahan primer serta menangani penyakit secara tepat.

Tentu kita masih ingat bagaimana kisah Angeline Jolie yang rela melakukan operasi pengangkatan kedua payudaranya setelah diduga memiliki mutasi gen BRCA-1 sebagai pembawa risiko kanker dengan akurasi hingga 85%. Semua ini dapat dimengerti karena diterjemahkan dengan mudah oleh ilmu bio informatika.

Kompetensi bioinformatika merupakan kombinasi antarilmu komputer, matematika, genetik dan ilmu sains dasar. Seorang ahli bioinformatika memiliki kemampuan untuk menerjemahkan jutaan gigabyte pasang basa DNA menjadi algoritma yang bermanfaat dalam deteksi dini maupun tata laksana penyakit tertentu.Modalitas ini diperkaya oleh deep learning dan machine learning yang mampu mengolah ribuan hingga jutaan data menjadi sebuah AI dengan keunggulan dalam kecepatan dan ketajaman analisis data dalam layanan kesehatan.
Malaysia melakukan studi kohort yang masif dan terstruktur terhadap lebih dari 100.000 penduduknya untuk mengidentifikasi faktor risiko berbagai penyakit degeneratif. Studi ini dipimpin oleh Universitas Kebangsaan Malaysia dan diberi judul “For the Future of Malaysia”.Melalui studi ini Malaysia akan mendapatkan pola dan algoritma faktor risiko penyakit degeneratif bagi penduduknya sehingga mereka dapat melakukan intervensi dini untuk menghasilkan generasi masa depan yang unggul serta menghemat pembiayaan kesehatan.
Singapura sudah lebih dulu menerapkan konsep big data dan precision medicine dalam program asuransi nasionalnya. Sebagai contoh, yaitu pada pemberian obat antiepilepsi berbasis genetik yang menghindari inefektivitas fenitoin akibat resistensi. Pendekatan ini dapat menghemat belanja kesehatan Singapura hingga jutaan dolar.

Amerika Serikat, melalui Harvard University, begitu getolnya mendidik masyarakat mengenai pemahaman ilmu genetik dan bioinformatika pada awam, siswa sekolah dasar, sekolah menengah, maupun mahasiswa. Berbagai modul edukasi bioinformatika disiapkan oleh Harvard University demi mendidik masyarakat di sana agar memahami bagaimana konsep pencegahan penyakit di masa datang.

“For the Future of Indonesia”

Untuk mengakomodasi kemampuan deteksi dini penyakit degeneratif, kita perlu belajar dan memanfaatkan AI dalam program penapisan massal, bahkan sejak periode bayi baru lahir. Dengan begitu, semua data klinik dan genomik penduduk Indonesia tercatat dalam Kartu Indonesia Sehat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia saat ini berfokus pada Program Indonesia Sehat-Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang berorientasi pada siklus kehidupan. Konsep pencegahan primer sangat erat terkait dengan upaya kita menyiapkan jabang bayi dalam kandungan ibunya.The first nine months shape the rest of your life, begitu David Barker memopulerkan hipotesis ini sejak 2002. Bukan tidak mungkin, dengan inovasi disrupsi dan penerapan bioinformatika pada pendekatan program PIS-PK kita benar-benar dapat memotong mata rantai penyakit degeneratif sejak di hulu.
Kita memiliki Indonesian Medical Education Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Eijkman Institute yang memiliki sumber daya peralatan dan teknologi terbaru (next generation sequencing) maupun sumber daya manusia yang siap untuk mendukung pengembangan program pencegahan primer berbasis genomik. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia (BPJS) juga belum lama ini telah meluncurkan potensi kekayaan datanya yang mencapai jutaan populasi dan ribuan variabel.Hanya, sampai saat ini belum terdengar adanya algoritma serta pola tertentu yang lahir dari big data ini, agar dapat dimanfaatkan sebagai langkah promotif dan preventif kesehatan Indonesia. Tentu ini merupakan langkah maju yang dapat kita optimalkan pemanfaatannya.
Program Indonesia Sehat 4.0 ini memerlukan investasi awal yang diyakini akan mampu mengeliminasi defisit pembiayaan kesehatan BPJS di masa datang secara signifikan, dan sebagai bonusnya kita akan mendapatkan generasi emas untuk menyongsong Indonesia 2045 sebagai salah satu negara maju di dunia.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3794 seconds (0.1#10.140)