Pemanfaatan EBT Menuju Industri Kelistrikan Ramah Lingkungan

Sabtu, 22 Juni 2019 - 09:01 WIB
Pemanfaatan EBT Menuju Industri Kelistrikan Ramah Lingkungan
Pemanfaatan EBT Menuju Industri Kelistrikan Ramah Lingkungan
A A A
Dwi Suryo Abdullah
Pengamat Energi Ramah Lingkungan, Vice President Public Relation PLN

SIAPKAH Indonesia menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi utamanya dalam penyediaan energi listrik khususnya untuk keperluan Industri?

Ini sebuah tantangan sekaligus motivasi dalam memperbaiki bauran energi penyediaan listrik di Tanah Air. Diperlukan usaha yang kuat dalam mewujudkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai energi untuk membangkitkan listrik yang digunakan untuk berbagai kebutuhan kelistrikan, baik industri, bisnis dan sosial dalam kapasitas besar dan andal.

Upaya untuk memanfaatkan EBT perlu mendapatkan dukungan yang kuat tidak hanya dari pemerintah tapi juga masyarakat dan pelaku dunia usaha. Meski memang banyak keterbatasan dalam mewujudkannya, namun optimisme perlu ditanamkan kepada stakeholders. Dengan keterbatasan yang ada pemerintah telah menetapkan target bauran energi nasional dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 sampai dengan 2028 di mana EBT dipatok dengan angka 23% pada 2025.

Meski upaya untuk mewujudkan itu banyak tantangan yang harus dihadapi baik dari sisi pendanaan maupun ketersediaan energi yang akan digunakan. Misalnya, pemanfaatan panas bumi perlu dilakukan pengeboran pada daerah yang potensinya cukup besar dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit di samping risiko kegagalan yang perlu dikendalikan.

Sedangkan untuk energi air butuh waktu untuk membuat bendungan agar diperoleh head (tinggi jatuh) yang cukup untuk memutar turbin air bila menginginkan kapasitas yang lebih besar. Meskipun potensi energi air yang memanfaatkan laju aliran air dengan mikro hidro (PLTMH) cukup banyak, namun hanya menghasilkan daya listrik yang rendah.

Sementara untuk pemanfaatan angin dan sinar matahari kendala yang dihadapi berupa lokasi yang akan digunakan harus memenuhi batas minimal kecepatan angin maupun intensitas cahaya yang akan dikonversi menjadi energi listrik. Tujuannya agar dana investasi secara optimal sehingga biaya pokok penyediaan mampu bersaing dan kompetitif dengan energi listrik yang dihasilkan oleh gas dan batubara karena EBT akan maksimal bila dapat menggantikan minyak maupun gas.

Kondisi bauran energi untuk EBT pada 2019 sebesar 11,4% dengan komposisi energi panas bumi 5%, energi air 6,3% dan gabungan energi : matahari, sampah, biomas, CPO hanya 0,3%. Apabila dilihat potensi solar cell (energi matahari) seharusnya dapat memanfaatkan lebih besar dan bahkan bisa dimanfaatkan lebih dari 3%. Namun kenyataannya masih sangat rendah, meskipun pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan ketentuan pemanfaatan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Rendahnya konsumen PLN memanfaatkan PLTS Atap perlu menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah dan PLN. Berdasarkan survei dan wawancara pada pelanggan rumah tangga dengan daya 4.400 VA sampai dengan 10.500 VA ternyata lebih dari 90% pelanggan tidak ingin menambah investasi untuk membeli PLTS Atap. Penyebabnya, di samping belum paham adanya PLTS Atap, pelanggan juga ingin praktisnya saja bahwa untuk kebutuhan listrik di rumah masih percaya dengan PLN.

Di lain pihak untuk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi penghasil listrik sejauh ini masih sebatas riset meski sudah ada yang memanfaatkannya seperti di Kota Surabaya dengan memanfaatkan sampah yang ada di TPA Benowo. Pemerintah Kota Surabaya bisa menjual listrik ke PLN Distribusi Jawa Timur meski sebatas 8.000 kw. Namun ini perlu mendapatkan apresiasi oleh pemerintah pusat karena selain bisa menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah juga mengurangi tumpukan sampah yang setiap harinya bertambah. Selain Surabaya Pemerintah Kota Denpasar juga melakukan hal yang sama yaitu memanfaatkan sampah menjadi energi listrik meski dalam kapasitas di bawah 100 kw.

EBT juga dapat dihasilkan dari batang dan ranting pohon kaliandra seperti yang dikembangkan di pulau Kondur Kabupaten Karimun Kepulauan Riau meski belum maksimal masih di bawah 100 kw. Kendala utamanya adalah lahan untuk menanam Kaliandra harus luas.

Potensi lainnya yang dapat dikembangkan adalah pemanfaatan CPO atau minyak sawit sebagai pengganti solar/ biodiesel yang mulai dikembangkan dengan nama B20. Artinya komposisi minyak sawit 20% dan HSD (High Speed Die­sel) 80%. Bahkan sudah mulai diujicoba dengan B100 yang artinya 100% menggunakan minyak sawit atau menggantikan bahan bakar residu/solar dalam pembangkit tenaga diesel seperti yang telah diujicoba di Bangka.

Upaya pemerintah melaui PLN untuk mewujudkan target bauran energi 23% menggunakan EBT pada 2025 secara masif terus dilakukan, baik dalam pengembangan kapasitas rendah maupun implementasi dalam kapasitas yang cukup besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Sidrap, Sulsel. Dukungan pemerintah sangat besar pengaruhnya terutama menyangkut regulasi yang berkeadilan dan sisi pendanaan mengingat masih tingginya Biaya Pokok Produksi.

Pembangkit Listrik dari EBT dibanding dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU Batu­bara). Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai upaya perwujudan program listrik ramah lingkungan atau renewable energy akan sangat bermanfaat apabila diterapkan di pulau- pulau kecil atau sedang dengan type PLTS Komunal bukan PLTS Atap. Ini mengingat energi primer seperti solar/HSD, gas apalagi batubara ke pulau-pulau perlu ongkos angkut.

Meski sudah ada warga yang memanfaatkan PLTS Komunal namun belum bisa maksimal karena tidak semuanya dilengkapi dengan baterai sebagai penyimpun energi listrik dalam bentuk arus searah (direct current). Akibatnya, hanya bermanfaat selama 4-5 jam/hari, itu pun hanya sekitar 10-20% dari daya maksimal dalam sistem 20 kv di remote area tersebut. Adapun sisanya rata-rata masih menggunakan PLTD.

Namun demikian perlu dukungan dan perhatian yang lebih dari pemerintah agar pemanfaatan PLTS Komunal dengan teknologi baterai di remote area, khususnya daerah kepulauan, bisa lebih besar 23% bauran energinya. Apalagi daerah tersebut secara sistem kelistrikan terpisah (isolated ) dan dikategorikan remote area. Tidak hanya di kepulauan namun juga di daerah perkebunan dan dusun di lereng atau lembah pegunungan yang jaringan listriknya jauh dari gardu induk atau pembangkit, PLTS Komunal cocok untuk dikembangkan dengan baterai. Hal yang menjadi kendala untuk merealisasikan PLTS jenis ini pada umumnya, selain pendanaan juga lahan yang diperlukan cukup luas. Sebagai gambaran di Pulau Moro PLTS dengan daya 200 kWp membutuhkan lahan sekitar 2.000 meter persegi. Adapun produksi rata-rata setiap bulannya 17.200 kWh.

Pemanfaatan EBT secara maksimal bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil terutama dari minyak, gas dan batubara di samping sebagai perwujudan perusahan dalam mendukung program go green lingkungan yang bersih, tidak menambah polusi udara di sekitar pembangkit listrik.

Begitu pentingnya pengembangan dan pemanfaatan energi ramah lingkungan bagi dunia industri di masa depan maka perlu didukung regulasi yang mengatur tentang tarif jual ke pelanggan industri. Industri perlu mempunyai komitmen dalam mendukung program pemanfaatan renewable energy sehingga gerakan pengurangan energi fosil tidak hanya ditujukan kepada PLN. Pemerintah sebagai regulator juga perlu menetapkan tarif listrik renewable energy yang harus dibayar oleh pelanggan industri sebagai produsen agar langkah masif untuk mewujudkan bauran energi 23% menggunakan EBT bisa tercapai pada 2025.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2972 seconds (0.1#10.140)