Memanusiakan Kota

Rabu, 26 Juli 2017 - 13:49 WIB
Memanusiakan Kota
Memanusiakan Kota
A A A
Dr Apriyan D Rakhmat
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru

Judul tulisan di atas muncul seturut kegelisahan dan kecemasan saya tentang kehidupan kota masa kini, khususnya kota-kota besar di Tanah Air, dengan semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kriminalitas: pencurian, penodongan, perampokan, pembunuhan, penggunaan narkoba dan ekstasi, pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan manusia, pemalsuan; termasuk juga caci maki, fitnah, kabar bohong, hoax, ujaran kebencian, dan sejenisnya yang semakin berseliweran di dalam kehidupan masyarakat urban.

Gejala sosial lainnya juga tidak mau ketinggalan, seumpama peningkatan jumlah pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial yang semakin menganga. Jika mau diperpanjang lagi, di antaranya adalah peningkatan orang-orang yang mengalami gangguan stres dan depresi akibat tekanan hidup dan faktor internal lainnya.

Anak-anak jalanan dan funk, remaja putus sekolah, gelandangan dan pengemis, termasuk orang-orang gila dan senewan semakin kerap dijumpai di berbagai sudut kota-kota besar di Tanah Air.

Warga kota yang tinggal di rumah tidak layak huni juga tidak semakin mengecil jumlahnya dari tahun ke tahun. Masih banyak dijumpai rumah-rumah tidak layak huni di kawasan perkotaan, seperti di bantaran sungai, bawah jembatan, pinggir rel kereta api, atau tepi-tepi jalan. Kota-kota besar di Tanah Air belum lagi bisa bebas dari permukiman kumuh dan liar.

Keadaan di kota diperparah lagi dengan kemacetan lalu lintas, banjir kota, tumpukan sampah, dan pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor, pabrik/industri, dan kebakaran hutan. Gempa bumi, tsunami, longsor, badai, angin puting beliung, kekeringan, dan krisis air bersih adalah daftar panjang berikutnya yang turut menghantui kehidupan kota masa kini.

Dalam konteks ini, kota yang merupakan suatu ekosistem baru telah "dinodai" dengan berbagai gejala sosial dan lingkungan yang meruntuhkan wibawa kota itu sendiri yang menyengsarakan warga. Kualitas hidup kota semakin tidak nyaman dan layak untuk anak-anak, remaja, dewasa, lansia, dan disabilitas.

Ekonomi vs Sosial dan Lingkungan
Kota telah beralih fungsi untuk hanya fokus kepentingan ekonomi, pembangunan fisik, dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan ekologi. Pembangunan kota dalam arti sesungguhnya semakin tergugat. Terdapat jurang yang makin melebar antara pembangunan fisik dan ekonomi, yang berhadapan dengan gejala-gejala sosial dan degradasi lingkungan.

Kota semakin tidak berperikemanusiaan, dengan berbagai gejala sosial dan lingkungan yang membelit dan mengepungnya. Kota semakin tidak bersahabat lagi dengan kehidupan manusia. Kota hanya dijadikan tempat untuk mencari uang dan mengumpulkan pundi-pundi harta. Kota telah digunakan dengan sempurna sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.

Kota tidak lagi dapat sebagai "ibu" yang melindungi dan mengayomi warganya dari berbagai masalah dan penderitaan yang dialaminya. Kota sudah menjelma sebagai bandar judi, sebagaimana yang disindir Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi.

Kota hanya memberikan ruang dan waktu kepada yang berpunya dan mempunyai modal, yang kesemuanya diukur dengan uang dan materi. Sementara yang tidak berpunya dan tiada modal silakan mundur dan minggir. Kota seolah tidak berpihak dan memberi ruang bagi penduduk miskin dan terpinggirkan.

Semakin kerap berita penggusuran, penertiban, relokasi pedagang kaki lima, pasar kaget, dan sektor-sektor informal lainnya yang banyak dilakoni rakyat kecil ilmiah, setengah ilmiah atau ala kadarnya.

Lebih sadis lagi, ada yang menuduh bahwa kelompok ini parasit kota yang menjerumuskan kota ke lembah kesemrawutan, kekumuhan, ketidakteraturan, yang keberadaannya memang tidak cocok untuk tinggal di kawasan perkotaan, yang dicirikan dengan segala keteraturan, keindahan, dan kebersihan.

Fenomena seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada akhir abad ke-18, hal ini telah disinggung oleh Ebenezer Howard (1850-1928), tentang sengkarut kehidupan kota di Inggris ketika itu, sebagai akibat Revolusi Industri, yang menyebabkan kawasan perkotaan diserbu oleh masyarakat pedesaan untuk bekerja di pabrik/industri.

Urbanisasi besar-besaran ketika itu telah menyebabkan kota-kota di Inggris mengalami gangguan sosial dan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan yang bersumber dari gas buangan limbah dan asap pabrik. Selain itu, juga muncul gejala-gejala social yang berasal dari para pekerja yang memadati perkotaan.

Untuk mengatasinya, Howard kemudian menawarkan gagasan pewujudan kota taman (garden city), sebagai usaha untuk mengatasi sengkarut permasalahan sosial dan lingkungan yang dialami kota-kota di Inggris ketika itu. Howard mengatakan bahwa kota sudah semakin tidak manusiawi lagi untuk ditempati dan menjalani kehidupan.

Konsep dari garden city adalah pewujudan sebuah kota yang dapat memadukan antara unsur-unsur perkotaan seperti; lapangan pekerjaan, pendapatan, infrastruktur yang memadai, dipadukan dengan unsur-unsur pedesaan yang asri, sejuk, nyaman, damai dan guyub. Suatu ide cemerlang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbentuknya Letchworth Garden City (1905) dan Welwyn Garden City (1919) dan garden city lainnya di Inggris.

Konsep dan gagasan ini masih relevan untuk diterapkan dalam kekinian, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, teknologi dan peradaban. Perlu kiranya terobosan-terobosan dan gagasan segar untuk dapat mengatasi keadaan sengkarut perkotaan dewasa ini. Perlu kreativitas dan inovasi berkelanjutan dari seluruh stakeholder pembangunan kota (pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat).

Ide dan konsep kota pintar (smart city), inteligent city, liveable city, green city, kota layak anak dan lansia, yang kesemuanya dibungkus dalam ide besar kota berkelanjutan (sustainable city) adalah di antara usaha untuk mewujudkan kota yang nyaman, aman dan menyenangkan untuk warga kota dan para pendatang.

Suatu kota yang dapat memberikan kehidupan dan daya hidup bagi warganya. Kota yang mempunyai vitalitas, sehingga dapat tetap tegar dan kokoh menghadapi berbagai masalah dan tantangan.

Bagaimana untuk Memanusiakan Kota?
Pertanyaan besar yang sukar untuk dijawab dan dicarikan solusi yang tepat, namun bukan berarti tidak dapat diwujudkan, yaitu suatu kota yang dapat untuk memberikan ruang yang selayaknya bagi seluruh warga kota untuk dapat menjalani kehidupan sebagai manusia yang beradab.

Dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka, dan dalam masa yang sama dapat mengaktualisasikan nilai-nilai sosial yang mereka yakini dengan aman dan damai, dalam bingkai dan koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai ideologinya.

Sebuah kota yang dapat menampung seluruh lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial-budaya dan ekonomi. Kota yang dapat memberikan kesejukan dan ketenangan bagi warga kota dan para pendatang.

Kota yang dapat untuk memberikan ruang ekspresi warganya. Kota yang dapat untuk memberikan keceriaan bagi para penghuninya. Kota yang menyenangkan bagi anak-anak, remaja, dewasa, lansia dan disabilitas.

Kota yang memiliki ruang terbuka hijau dan ruang publik yang mencukupi bagi seluruh warga kota, yang dapat diakses dengan mudah. Kota yang memiliki kuantitas dan kualitas infrastruktur yang baik.

Pelayanan birokrasi yang efisien. Pelayanan kesehatan yang prima. Fasilitas pendidikan dan kualitas pendidikan yang terjamin. Dapat menjalankan ibadah dengan aman. Penegakan hukum yang dapat diandalkan, serta tersedianya lapangan pekerjaan yang berkualitas.

Sebagai rumah bagi penghuninya, tempat berkumpul, bercengkerama, bercanda, dan berdiskusi, antar sesama anggota keluarga. Kota yang dapat melindungi dan mengayomi warganya dari ancaman teror, tindakan kriminal, terbebas dari tumpukan sampah, genangan banjir, pencemaran udara, kabut asap, dan kemacetan lalu lintas. Wallahu a’lam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4209 seconds (0.1#10.140)