Urbanisasi dan Kesenjangan Kota-Desa

Kamis, 20 Juli 2017 - 08:11 WIB
Urbanisasi dan Kesenjangan Kota-Desa
Urbanisasi dan Kesenjangan Kota-Desa
A A A
Ace Hasan Syadzily
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar,
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar,
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAGI kota-kota besar Lebaran selalu menyisakan masalah yang klasik, yaitu arus urbanisasi. Data yang dilansir Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menyebutkan, setelah Lebaran 2017 pendatang baru ke Jakarta sebanyak 70.752 orang. Dibandingkan pendatang saat Lebaran 2016, tahun ini jumlahnya naik 2,89% atau 68.763 orang.

Data tersebut menunjukkan bahwa kota masih menjadi tempat arus perpindahan penduduk yang masih diminati warga. Pola mobilitas sosial ini akan selalu terjadi selagi kota tetap menjadi pusat pertumbuhan dan aktivitas ekonomi dengan daya dukung ekonomi yang menopangnya. Artinya, desa belum mampu menciptakan dan menumbuhkan aktivitas ekonomi yang menjanjikan sehingga mendorong masyarakat desa tetap berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.

Pertanyaannya, bukankah sekarang pemerintah telah mengimplementasikan UU Nomor 6/2014 tentang Desa yang sejatinya diharapkan dapat mendorong masyarakat desa agar dapat mengembangkan potensi ekonominya? Pertanyaan evaluatif kebijakan ini memang terlalu ambisius untuk menjawab persoalan urbanisasi yang merupakan fenomena dunia berkembang seperti Indonesia yang masih menghadapi masalah kesenjangan antara kota dan desa.

Namun, dengan pertanyaan di atas setidaknya menggugah kita untuk terus mengevaluasi sejauh mana efektivitas pelaksanaan tiga tahun implementasi UU Nomor 6/2014 tentang Desa dapat mencapai tujuan utamanya: mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan desa-kota, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan.

Asumsinya, semakin berkurangnya urbanisasi maka mulai semakin tumbuh produktivitas perekonomian di perdesaan. Berkurangnya urbanisasi merupakan salah satu indikator penting bagi berkembangnya potensi ekonomi masyarakat di desa. Masyarakat desa tidak lagi berangkat ke kota jika mereka mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang dapat menjamin kebutuhan hidupnya.

Kemiskinan dan Dana Desa
Pelaksanaan UU Desa telah berlangsung tiga tahun sejak 2014. Pada 2015 pemerintah pusat melalui APBN telah mengucurkan dana Rp20,76 triliun. Berikutnya, 2016, naik menjadi Rp46,9 triliun, lalu pada 2017 pemerintah pusat telah mengalokasikan Rp60 triliun. Kini rata-rata pemerintahan desa sebagai entitas pemerintahan yang memiliki otonomi untuk mengelola sumber daya keuangannya Rp800 juta hingga Rp1,1 miliar per desa.

Kebijakan ini sungguh sangat tepat untuk membangun Indonesia dari desa sebagaimana program Nawacita pemerintahan Jokowi jika penggunaannya tepat sasaran dan sesuai peruntukannya. Dana desa ini, menurut UU Desa, dipergunakan untuk membiaya infrastruktur ekonomi, sosial, fisik, dan meningkatkan kemampuan berusaha masyarakat di perdesaan.

Jika kita melihat struktur ekonomi dalam hal kemiskinan dalam satu tahun terakhir ini memang sedikit terjadi penurunan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni 2017, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2016 mencapai 27,76 juta orang (10,70%), menurun 0,25 juta orang dibandingkan penduduk miskin pada Maret 2016, 28,01 juta orang (10,86%).

Namun, hal yang perlu menjadi catatan atas laporan BPS tersebut, sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah perdesaan. Pada September 2016, walaupun sedikit terjadi penurunan, penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan sebesar 62,24% dari seluruh penduduk miskin, padahal pada Maret 2016 sebesar 63,08%. Artinya, jumlah orang miskin di perdesaan masih besar dibandingkan di perkotaan.

Masih tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan, seperti data BPS di atas, menunjukkan bahwa penggunaan dana desa belum sepenuhnya memiliki efek signifikan bagi upaya mengatasi kesenjangan desa-kota. Hal ini bisa jadi disebabkan karena pada tahun yang ketiga realisasi anggaran dana desa masih berkisar pada pembangunan infrastruktur dasar (seperti jalan desa).

Pada umumnya, penggunaan dana desa saat ini belum menyentuh upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penciptaan aktivitas ekonomi berbasis sumber daya desa tersebut dan dapat menyerap tenaga kerja masyarakat desa.

Dalam kaitan ini, perlu kiranya kita menilik pendekatan John Friedman (1992) dalam Empowerment: the Politics of Alternative Development, bahwa kemiskinan terjadi akibat dari ketidakberdayaan karena ketiadaan akses terhadap kekuatan sosial (powerlessness as lack of access to social power). Yang dimaksud Friedman dengan kekuatan sosial itu terdiri atas, pertama, adanya modal produktif atas aset, misalnya tanah pertanian yang produktif.

Kedua, akses terhadap sumber keuangan untuk dipergunakan menambah income dan kredit usaha yang memadai. Ketiga, partisipasi dalam suatu kelembagaan yang dapat mencapai kepentingan ekonomi seperti koperasi atau badan usaha bersama dalam masyarakat.

Keempat, akses dan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, akses terhadap informasi yang dapat mendukung bagi ruang usaha yang produktif.

Solusi Urbanisasi
Pendekatan Friedman ini sesungguhnya relevan untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang terjadi di perdesaan. Melalui pendekatan ini, kiranya pembangunan perdesaan ini harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, program redistribusi lahan dalam program reforma agraria bagi para petani di perdesaan sudah seharusnya segara direalisasikan. Kebijakan reforma agraria ini akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan warga perdesaan sebagai aset ekonomi yang paling mendasar.

Kedua, penguatan kelembagaan usaha ekonomi yang berskala produktif. Dalam UU Desa dikenal suatu institusi perekonomian yang dikenal dengan badan usaha milik (BUM) desa. BUMDes ini diharapkan menjadi institusi ekonomi berbasis masyarakat yang dapat meningkatkan usaha bersama untuk meningkatkan pendapatan sekaligus menyerap tenaga kerja bagi masyarakat perdesaan.

Redistribusi lahan pertanian dan penguatan kelembagaan ekonomi harus juga dibarengi dengan peningkatan kemampuan masyarakat desa dengan meningkatkan keterampilan sesuai kebutuhan dengan terus melakukan inovasi dan teknologi tepat guna. Di sinilah peran dunia pendidikan, baik menengah kejuruan maupun perguruan tinggi, melakukan pendampingan terhadap pembangunan masyarakat desa.

Apabila semua pemangku kepentingan (Kementerian Desa, Pertanian, Dalam Negeri, Keuangan, Pertanahan/BPN, Sosial, Dikbud, Ristekdikti, Pemerintah Daerah, dan instansi lain) memiliki gerak langkah yang sama dalam kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi dalam menangani pembangunan di perdesaan, urbanisasi dengan sendirinya akan teratasi.

Dengan demikian, persoalan urbanisasi sebagai fenomena tahunan dapat diselesaikan hingga ke akar persoalannya dengan pembangunan yang berfokus pada perdesaan. Semoga!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9044 seconds (0.1#10.140)