Mengapa Harus Tax Amnesty?

Senin, 02 Mei 2016 - 17:17 WIB
Mengapa Harus Tax Amnesty?
Mengapa Harus Tax Amnesty?
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KEGADUHAN skandal internasional bernama Panama Papers semakin menghidupkan inisiatif pemerintah untuk melegalkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Dari 214.000 nama pengusaha/perusahaan yang diperkirakan terekam dalam dokumen kontroversial itu, tercatat sekitar 2.961 nama dari Indonesia yang turut mendirikan perusahaan offshore di Panama. Pemerintah yang telanjur terjebak dengan target tinggi untuk penerimaan pajak 2016 gerah mengetahui banyaknya potensi pajak yang terabaikan sehingga semakin masif mendorong agar RUU Pengampunan Pajak lekas mendapat legitimasi dari DPR.

Meski sempat timbul tenggelam, isu tax amnesty masih tergolong topik yang sering kali mengundang perdebatan panjang. Berbagai spekulasi terus mencuat untuk menebak bagaimana hasil akhir yang diterima jika tax amnesty betul-betul diterapkan. Hingga catatan ini tertulis, kubu yang pro maupun kontra terus menjustifikasi argumennya sehingga diskusi mengenai tax amnesty terus menghangat.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro meyakini Panama Papers sudah mengindikasikan secara kuat pentingnya tax amnesty sebagai langkah repatriasi gelembung kekayaan penduduk Indonesia yang tersebar di mancanegara. Di pihak seberang, masih berembus suara-suara penolakan meski perlahan mulai sayup-sayup. Pihak yang belum bersepakat pada umumnya menganggap tendensi politik lebih tampak daripada kemurnian kepentingan ekonomi.

Apalagi tarif untuk memperoleh amnesti terbilang lebih "murah" jika dibandingkan nominal pajak yang dibayarkan secara normal. Tax amnesty sudah pernah dilakukan di Indonesia pada medio 1980-an, tetapi realisasinya gagal mencapai target karena lemahnya mekanisme dan sosialisasi pengantarnya. Indonesia perlu belajar dari negara yang berpengalaman mengelola mekanisme yang tepat agar pengelolaan pengampunan pajak tidak salah kaprah.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengingatkan agar Indonesia belajar dari 40 negara yang sudah menerapkan, tetapi rata-rata gagal dalam melaksanakan tax amnesty. Bahkan International Monetary Fund (IMF) pada 2008 secara terang-terangan berargumen, kesuksesan tax amnesty bagaikan anomali, karena sebuah kesuksesan akan dinilai tidak normal dan kegagalan sesuatu yang normal. Contoh terdekat adalah kegagalan Filipina karena mekanisme lanjutan pascapemberlakukan tax amnesty tidak diikuti reformasi sistem perpajakan.

Meski demikian, Yustinus Prastowo berharap pemerintah tidak menganulir niatnya untuk menerapkan target repatriasi karena di antara 40 negara yang sudah menerapkan, terselip cerita negara yang sukses menjalankan, di antaranya Afrika Selatan (Afsel) dan India. Afsel pada 2003 tercatat sukses mengumpulkan dana repatriasi sebesar USD0,36 miliar dari pengampunan pajak yang berlaku enam bulan. Dana hasil repatriasi di India pada 1981 bahkan mampu dicapai dengan jumlah yang lebih besar, yakni senilai USD1 miliar selama tiga bulan.

Baik Afsel maupun India sepakat untuk "melepaskan" pengemplang pajak dari sanksi administrasi lainnya selama hak amnesti belum kedaluwarsa. Jika pemerintah masih tetap bersikukuh hendak menerapkan tax amnesty, mekanisme pengelolaan akan menjadi persoalan penting. Pemerintah bisa meniru langkah mantan Pemimpin Afsel Nelson Mandela yang melakukan intelijen ekonomi dan rekonsiliasi politik sebelum penerapan serta memberikan garansi revenue tax reform.

Italia yang sama halnya dengan Indonesia dalam ukuran banyaknya sektor ekonomi informal tengah melakukan voluntary disclosure sebelum kembali mengadakan tax amnesty. Ketiga negara ini bisa menjadi patokan karena berbagai kesamaan dalam struktur politik dan ekonomi. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, ada lima kunci kebijakan untuk menyukseskan tujuan tax amnesty.

Pertama, tax amnesty
harus dirancang sebagai titik tolak dari sistem perpajakan yang baru melalui rekonsiliasi data atau tax reform. Kedua, Direktorat Jenderal Pajak harus memilikidataakuratdanmembangun administrasi perpajakan yang kuat dan efektif. Wajib pajak yang mendapat amnesti harus dipantau secara ketat. Bahkan harus dipersiapkan peningkatan audit dan pengenaan sanksi yang lebih berat bagi wajib pajak yang mengabaikan kesempatan untuk diamnesti.

Ketiga, kebijakan ini harus bersifat mengikat bagi semua pengaju pengampunan pajak dengan pelaksanaan yang jelas. Keempat, pengampunan pajak seharusnya dilakukan secara mendadak dengan durasi yang sangat singkat, yakni maksimal setahun. Dan kelima, kebijakan ini harus diikuti dengan penindakan hukum yang tegas untuk menjamin efektivitas pengampunan yang akan diberikan.

Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak proyeksi pendapatan negara dari hasil repatriasi melalui tax amnesty? Informasi yang bersumber dari hasil kajian BI, kantong penerimaan pajak diperkirakan akan bertambah Rp45,7 triliun dari repatriasi hasil tax amnesty. Adapun potensi total dana yang akan dipulangkan dari luar negeri diperkirakan bisa mencapai Rp560 triliun. Di balik hitunghitungan tersebut, juga terdapat beberapa risiko yang berpotensi mengancam perekonomian Indonesia seperti dampak terhadap kondisi psikologis wajib pajak dan kondisi likuiditas dalam negeri.

Dengan begitu pemerintah perlu untuk menghitung seberapa besar rasio biaya dan manfaat agar kebijakan ini semakin komprehensif. Salah satu hal penting untuk diperhatikan adalah bagaimana mengelola sisi psikologis dari wajib pajak yang selama ini sudah cukup patuh terhadap aturan perpajakan. Jangan sampai tax amnesty tampak "menyakitkan" bagi para wajib pajak tersebut. Publik juga mulai menanyakan, akan dibawa kemanakah dana-dana hasil repatriasi tersebut?

BI mulai mewanti-wanti bahwa kita masih memiliki keterbatasan pada instrumen keuangan untuk menangani capital inflow yang mengalir cukup deras seperti halnya repatriasi dana tax amnesty. Apalagi aliran dana dari investor asing belakangan ini juga semakin meningkat seiring perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini berpotensi mengganggu stabilitas makro ekonomi dan pasar keuangan domestik.

Sembari menunggu agar institusi perbankan menjadi lebih sehat, beberapa alternatif kebijakan juga sudah banyak dipaparkan, misalnya dengan mengalirkan dana-dana tersebut untuk perbaikan kredit modal sektor riil serta pengembangan iklim investasi dan infrastruktur. Pengelola reksa dana juga mulai menawarkan produk dan bersedia membantu pemerintah mengelola dana repatriasi.

Mempersempit Tax Avoidance
Jika tax amnesty nantinya tidak mampu mencukupi perkiraan defisit penerimaan dari pajak, pemerintah sudah sewajarnya mulai menggeser titik fokusnya agar realisasi APBN 2016 tidak semakin terombang- ambing.

Sudah banyak versi pemberitaan yang mengabarkan keraguan target penerimaan negara dari pajak agregat akan mampu tercapai. Sebab, kondisi perekonomian internal dan internasional yang masih fluktuatif serta pertimbangan berbagai instrumen penerimaan pajak yang belum banyak mendukung upaya intensifikasi. Perkembangan proses intensifikasi yang ditandai dengan reformasi besar-besaran pengelolaan pajak seperti proses audit yang lebih baik, pengembangan teknologi informasi (TI), penguatan pengendalian internal, hingga meningkatkan insentif bagi SDM perpajakan ternyata tidak cukup cepat merangsang agar ruang tax avoidance (penghindaran pajak) semakin dipersempit.

Berikut ini terdapat empat opini sebagai langkah solusi. Opini pertama, perlu ada rekonsiliasi politik untuk memperkuat modal sosial antara pemerintah dengan masyarakat selaku pemegang wajib pajak. Dampak dari Panama Papers seharusnya menjadi tonggak reformasi lanjutan untuk mempromosikan tata kelola pemerintahan yang semakin prima dan memperkuat kepercayaan publik (terutama berkaitan dengan tujuan investasi dan perluasan lapangan pekerjaan).

Berikutnya, reformasi pengelolaan sistem perpajakan harus diimbangi dengan pembangunan persepsi masyarakat bahwa setiap rupiah yang dibayarkan melalui berbagai jenis pajak akan menjadi benefit yang mendukung perbaikan aspek-aspek kehidupan bermasyarakat. Kedua, target penerimaan pajak perlu direvisi untuk menghindari jebakan psikologis.

Dengan target kenaikan penerimaan pajak di era Presiden Jokowi yang terkesan ambisius,tanpa adanya berbagai gebrakan-gebrakan konstruktif melalui reformasi perpajakan dan pertimbangan kondisi pertumbuhan ekonomi yang alamiah, kinerja perpajakan kita akan selalu dianggap pepesan kosong.

Ketiga, jika target penerimaan pajak tahun ini sudah diperkirakan tidak memenuhi target, demi menjaga keseimbangan kapasitas fiskal APBN, pemerintah harus berani melakukan efisiensi alokasi belanja. Caranya, bisa dengan mengoreksi ulang mana saja pos belanja yang bersifat tumpangtindih, atau menekan jumlah program dan kegiatan yang sekiranya tidak banyak menunjang visi-misi pembangunan pemerintah.

Terakhir, instrumen Public-Private Partnership (PPP) dan obligasi seharusnya menjadi alternatif utama untuk menutupi defisit pembiayaan. Apalagi peraturan perundang-undangan kita dalam UU Nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara juga membatasi defisit pembiayaan sebesar 3%. Mudah-mudahan pemerintah bisa lebih menahan diri untuk kembali menghimpun dana pinjaman luar negeri yang hingga saat ini terus bertambah.

Jika pemerintah memang masih yakin dengan sisi positif prospek perekonomian Indonesia di masa mendatang, alangkah lebih baiknya jika posisi ini lebih dimanfaatkan untuk mempromosikan komponen PPP dan obligasi, yang lebih menjanjikan dari sekadar "jalan pintas" melalui utang luar negeri yang belum terbukti bebas dari tendensi kepentingan luar negeri terhadap kebijakan-kebijakan politik di Indonesia. Dengan berbagai alasan itu, sangat dimungkinkan pemerintah merumuskan langkah-langkah yang lebih strategis dan terukur.

Proses yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan akan membantu pemerintah mengurangi riak-riak yang muncul menemani kemunculan kebijakan tax amnesty ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3886 seconds (0.1#10.140)