Kasus PT Grand Indonesia, Kejagung Diminta Adil dan Proporsional

Minggu, 06 Maret 2016 - 15:21 WIB
Kasus PT Grand Indonesia, Kejagung Diminta Adil dan Proporsional
Kasus PT Grand Indonesia, Kejagung Diminta Adil dan Proporsional
A A A
JAKARTA - Kerja sama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Tidak sepatutnya perjanjian BOT antara para pihak yang merupakan domain perdata itu dipidanakan. Kerja sama itu justru menguntungkan negara.

"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun kami menganggap perkara ini merupakan domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini," kata kuasa hukum PT Grand Indonesia, Juniver Girsang, kepada wartawan di Jakarta, Minggu (6/3/).

Menurut Juniver, kerja sama BOT itu justru menguntungkan negara. Grand Indonesia telah mengeluarkan total investasi Rp5,5 triliun dalam proyek ini. Dia menegaskan, angka ini jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp1,2 triliun.

"Negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya adalah 10% dari total pendapatan Grand Indonesia," ujarnya.

Dia menambahkan, ketika pada tahun 2004, perjanjian BOT ditandatangani para pihak, usia Hotel Indonesia sudah di atas 30 tahun dan belum direnovasi total. Hal ini menyebabkan daya saingnya semakin rendah.

Laba pun rendah dan tidak optimal. Jika dilihat dari sisi kinerja keuangan, selama kurun 1997-2002, Hotel Indonesia-Inna Wisata hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp2 miliar setahun.

"Sejak dilakukan kerjasama BOT itu, HIN (PT Hotel Indonesia Natour) mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp134 miliar atau rata-rata Rp10,3 miliar per tahun," ucapnya.

"Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. Apalagi aset atau modal saham HIN tidak dilepaskan dan HIN akan memperoleh kembali obyek BOT pada akhir masa kerja sama dalam kondisi layak operasional," imbuh Juniver.

Patut dicatat kata dia, Grand Indonesia tidak melakukan penjualan unit Apartemen Kempinski dengan sistem strata-title tetapi menggunakan sistem sewa jangka panjang selama 30 tahun.

"Pada tahun 2010, Grand Indonesia menyanggupi untuk melaksanakan opsi perpanjangan dengan membayar Rp400 miliar secara tunai kepada Hotel Indonesia. Angka itu sudah di atas 25 persen dari NJOP tanah tahun 2010 yang sebesar Rp385 miliar," ungkap Juniver.

Mengenai opsi perpanjangan itu juga dilakukan berdasarkan perjanjian BOT. Dengan demikian, lanjutnya, Grand Indonesia selaku penerima BOT justru telah bertindak sebagai mitra strategis yang berperan serta dalam pelestarian kawasan Hotel Indonesia sebagai cagar budaya dan Landmark Jakarta.

"Proyek pembangunan dan pengelolaan kawasan ini juga menyerap tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 10 ribu orang," tuturnya.

Pada bagian lain, Juniver membantah terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pelaksanaan BOT tersebut. Menurut dia, kerja sama antara pihak HIN dan CKBI-Grand Indonesia yang dimulai pada 2004 itu telah melalui serangkaian proses formal yang sah dan transparan, serta dituangkan dalam perjanjian BOT yang ditandatangani oleh para pihak.

Juniver membantah tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Justru, tegasnya, HIN diuntungkan secara komersial karena tidak kehilangan kompensasi yang lebih besar dengan adanya dua bangunan tersebut.

HIN juga diuntungkan karena nilai bangunan yang diserahkan pada akhir masa BOT nanti (Tahun 2055) akan jauh lebih besar dari nilai seharusnya. "Tanpa menambah masa konsesi penerima hak BOT dan tidak mengurangi besarnya kompensasi tahunan yang diterima HIN," ujarnya.

"Kerja sama ini merupakan wujud kemitraan strategis antara BUMN dan swasta yang didasari oleh iktikad baik dan tidak merugikan keuangan negara," kata Juniver.

Juniver menjelaskan, setelah dilakukan proses tender yang terbuka dan transparan pada 2004, diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT. HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.

Pengalihan pemegang BOT dari CKBI ke Grand Indonesia pun tidak dilakukan secara sepihak, karena merujuk pada surat persetujuan Menteri BUMN dan perjanjian BOT itu sendiri.

"Dalam perjanjian BOT disebutkan bahwa penerima hak BOT adalah Grand Indonesia dan/atau pihak-pihak lain yang ditunjuk secara tertulis oleh Grand Indonesia dan/atau penerusnya yang telah disetujui oleh HIN baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri," ucap Juniver.

Terkait dengan pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan negara, Juniver menjelaskan, anggapan itu keliru.

Sebab, kata dia, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri.

"Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang lainnya," papar Juniver.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3534 seconds (0.1#10.140)