Muktamar NU dan Islam Nusantara

Jum'at, 31 Juli 2015 - 17:25 WIB
Muktamar NU dan Islam Nusantara
Muktamar NU dan Islam Nusantara
A A A
PADA 1-5 Agustus 2015 nanti, Nahdlatul Ulama menggelar perhelatan muktamar di Jombang, Jawa Timur. Muktamar yang ke-33 ini mengusung tema Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.

Said Aqil Siroj menuturkan relevansi tema ini dalam konteks global dan nasional. Dia juga menuturkan banyak hal terkait kepemimpinannya dalam lima tahun terakhir.

Sebentar lagi masa jabatan Anda sebagai Ketua Umum PBNU berakhir. Bagaimana perasaan Kyai?

Alhamdulillah, selama ini saya dan seluruh pengurus PBNU mampu dan berhasil melaksanakan amanat Muktamar Makassar, walaupun tentu di sana-sini banyak kekurangan.

Beberapa amanat tidak berhasil dirampungkan karena memang berat dan sulit. Contohnya seperti agenda mengembalikan dan memperjelas status hukum aset-aset NU. Aset yang kecil-kecil memang sudah bisa kembali, tapi tanah yang berhektar-hektare masih belum. Terus terang saja.

Anda mencontohkan kekurangan?


Karena lebih banyak yang berhasil. Secara umum memang PBNU berhasil mengemban amanat Muktamar Makassar. Penting saya tekankan dan tegaskan, yang bisa disebut keberhasilan itu adalah keberhasilan seluruh pengurus PBNU, bukan hanya saya lho.


Keberhasilan lain yang bisa Anda contohkan?


Saya bersyukur semua Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom periode kali ini berperan aktif. Beberapa di antaranya, misal Lembaga Takmir Masjid (LTM), yang dulunya belum pernah aktif, sekarang sangat aktif. LTM terus terjun ke bawah menyelamatkan masjid dari gerakan-gerakan wahabi-salafi. Setiap tahun, LTM mengadakan mudik gratis.

Ramadan kemarin, saya melepas rombongan 33 bus. Lembaga Kesehatan mengelola program kemitraan dengan global finance, mengelola pendanaan 128 miliar, dengan nilai A+.

Begitu pula Lembaga Bencana Alam yang dulu cuma ad hoc, sekarang sudah menjadi lembaga tersendiri, baru saja kemarin membantu pengungsi Rohingya. Lalu Lembaga Pendidikan Ma'arif yang berhasil mengadakan dua kali perkemahan besar, di Jombang dan Cirebon. Lazisnu juga, baru pada periode kali ini, masukan zakat dari para muzakki luar biasa. RMI juga baik, ada gerakan ayo mondok yang dahsyat itu. Lalu, program Kader Penggerak yang sudah 11 kali putaran dan menghasilkan ratusan kader. Selama periode ini, alhamdulillah, pembangunan 24 Universitas NU, 62 SMK, penarikan kembali 3 Rumah sakit NU, dan sebagainya bisa dilakukan dengan baik.

Yang perlu saya tekankan juga adalah soal keuangan. Baru periode ini, sistem keuangan PBNU terbuka, siapapun dapat mengawasi. Keuangan Munas di Kempek Cirebon, misal, kita publikasikan di Radar Cirebon. Habis dana sekian, dapat dari mana, dan sisa berapa. Semuanya rapi.

Keuangan PBNU bukan cuma siap diaudit, bahkan sudah diaudit. Padahal, saya ini jadi Ketua Umum langsung dipasrahi hutang miliaran. Alhamdulillah lunas. Pembangunan Gedung PBNU II yang mangkrak bisa diselesaikan, sertifikat kantor PBNU yang entah di mana rimbanya sudah kita dapatkan. Saya juga berusaha agar NU menjaga jarak dan hubungan baik dengan semua pihak, dengan istana, dengan DPR, dengan Mabes TNI, dengan Mabes Polri, dengan dunia internasional, dengan siapa saja.

Datanglah ke muktamar, dan anda bisa melihat secara rinci capaian NU dalam lima tahun terakhir. Banyak sekali.

Muktamar Jombang mengusung tema Islam Nusantara. Apa pentingnya tema ini?


Lengkapnya, meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Jadi begini, Islam Nusantara merupakan warisan dari para wali, terutama Wali Songo yang berhasil mengislamkan dan mewarnai dengan dakwah Nusantara bil hikmah (dengan kebijaksanaan), wal mau’idhah hasanah (nasihat), wal mujadalah (diskusi), tidak dengan kekerasan. Islam yang dibawa Wali Songo ialah Islam yang terbuka dan melebur dengan tradisi-budaya tanpa ada bentrokan, kecuali tradisi yang jelas-jelas melanggar syari’ah. Itu yang harus kita pelihara dan kembangkan.

Kalau ada yang mengira Islam Nusantara anti Arab, keliru. Tidak baca sejarah. Hubungan Islam Nusantara dengan Timur Tengah sudah lama. Ulama seperti Syeikh Ahmad Khotib Sambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdusshomad Palembang, dan banyak yang lain mendapat reputasi internasional karena karya dan pengabdian mereka di Timur Tengah sangat diakui hingga sekarang. Maka, kurang lebih seperti Sunan Kalijaga ajarkan, “Jawa dijaga, Arab digarap”, itulah Islam Nusantara.

Karakter tawasuth atau moderatnya yang penting. Sekarang terlihat, dunia Arab dibakar perang saudara tak habis-habis, sementara di Eropa dan Amerika, Islamophobia menggejala di mana-mana. Serba repot. Wajar kalau orang seperti saya dapat Global Peace Award. Wajar kalau NU diminta ikut memediasi konflik di negara-negara Arab. Wajar kalau Kyai Mustofa Bisri banyak diundang ke Eropa untuk memperkenalkan wajah Islam yang ramah. Alhasil, wajar kalau Islam Nusantara yang moderat ini sangat dinanti-nantikan dunia.

Sikap moderat, bisa Anda perjelas?

Menjadi tawasuth tidak gampang, sebab butuh basis ilmu. Siapapun yang tidak mau ngaji dan belajar, silakan bergabung ke ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Kedua kutub itu tidak perlu basis ilmiah. Asal ngotot, cukup. Adapun menjaga tawasuth ala ahlussunnah wajib dengan dasar ilmiah karena menggabungkan adillah naqliyyah (teks) dan hujjaj ‘aqliyyah (rasio). Ini yang dilakukan para ulama besar. Imam Syafi’i menggabungkan Quran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Imam Abu Hasan al-Asy’ari menggabungkan Quran, Hadis dan mantiq (logika) sehingga melahirkan ilmu kalam. Imam Ghazali melahirkan tasawuf yang seimbang antara syari’at dan hakikat.

Tidak heran jika Hadratussyekh Kyai Hasyim Asy’ari kemudian menggabungkan semangat keislaman dan kebangsaan sekaligus. Jadi, memelihara sikap moderat, basis ilmunya harus kuat. Menjadi moderat tidak bisa ngawur dan asal-asalan.

Ada kritik bahwa Islam Nusantara tidak jelas secara definisi?

Begitu tema ini diumumkan, segera mendapat banyak sambutan di mana-mana. Mereka yang terbiasa dengan olah pikir dan olah rasa beramai-ramai menyumbang pendapat dan argumen. Ini elok sekali. Datangilah muktamar, Anda akan menemukan banyak sekali karya ilmiah yang mengulas soal ini.

Kritik tersebut menurut saya kurang pas. Islam Nusantara terutama bukan soal definisi, tapi laku keislaman di kepulauan nusantara yang usianya panjang sekali dan kaya tradisi. Saya cenderung menempatkan Islam Nusantara sebagai suatu tipologi atau mumayyizat atau khashaish yang membuat kita sebagai muslim nusantara sangat khas keislamannya.

Islam nusantara bukan madzhab, tapi bermadzhab. Jadi ini bukan aliran baru. Madzhab kita ahlusunnah wal jama’ah, sementara Islam Nusantara adalah mumayyizat-nya, tipologi Islam yang kita warisi dari ulama-ulama Nusantara. Di Timur tengah, meski sama-sama sunni, masalah sedikit saja bisa jadi perang saudara dan tidak mudah dilokalisir dan sulit diselesaikan.

Sementara sunni di sini kan tidak begitu. Contoh gampang Islam Nusantara adalah tradisi Lebaran. Meski Idul Fitri dikenal oleh umat Islam seluruh dunia, tapi keindahan tradisi berlebaran hanya ada di nusantara ini. Jadi, lucu kalau ada yang ngotot menolak Islam Nusantara, tapi ketika Idul Fitri tetap mudik ke kampung halaman dan sungkem-sungkeman, makan ketupat segala.

Nah, dengan mumayyizat inilah, kita mendapat jalan keluar dari kemelut antara negara sekuler dan negara agama. Indonesia bukan salah satu dari kedua kutub ekstrem itu.

Sejak awal, NU sangat bersungguh-sungguh mendirikan dan membela kesatuan Republik Indonesia. Kalau tidak belajar dan tidak memiliki fondasi ilmu, sulit memahami yang begini ini.

Muaranya NKRI?


Jelas dan persis di situ. NU itu kan kekuatan masyarakat sipil yang salah satu amanahnya adalah menjaga keutuhan bangsa ini. Ambil contoh, sejak terpilih menjadi ketua umum di Muktamar Situbondo, Gus Dur mampu dan terus-menerus “membumikan langit” atau memanusiakan nilai-nilai Allah, dan menggabungkan antara teologi dan kosmologi. Itu jasa yang sangat besar sekali. Saya lanjut mengawal itu. Kalau soal politik praktis, saya sangat menjauhi dan sebagai Ketua Umum, NU tidak saya arahkan ke sana. Kalau politik kebangsaan, iya.

Menjelang Muktamar di Jombang, berbagai kabar miring menerpa Anda.
Misalnya anda dikabarkan memberangkatkan banyak mahasiswa ke Iran. Bagaimana Anda menanggapinya?

Itu jelas fitnah. Saya biarkan, tidak saya respons. Tuduhan syiah kepada saya kan lagu lama yang diulang-ulang terus. Kalau ada yang menuduh saya syiah, orang syiah sendiri malah ketawa. Bahwa saya pernah menghadiri sebuah undangan ceramah di Surabaya tahun 2004 saat Ibu Megawati menjadi Presiden, ya masak diundang tidak datang. Kalau pidato saya tidak dipotong-potong, orang akan paham. Dan itu kan menjelang muktamar ke Makassar. Saya di PBNU sudah 20 tahun, dan hingga kini masih diterima. Kalau saya syiah, pasti Kyai Sahal Mahfudh atau Kyai Mustofa Bisri menendang saya dari PBNU jauh-jauh hari.

Terakhir, tidak sedikit yang menilai Anda pantas menjabat Rais ‘Am, posisi tertinggi di NU. Bagaimana pendapat Anda?


Enggak...enggak (menggeleng). Rais ‘Am itu syaratnya harus afqahul fuqaha (Ulama paling alim), sementara saya bukan. Selain itu, harus wara’ atau wira’i, sementara kelakuan saya masih jauh dari itu, masih belepotan. Saya masih jauh di bawah Kyai Ahmad Mustofa Bisri, Kyai Maimun Zubair, Kyai Ma’ruf Amin, Kyai Tolchah Hasan, dan sebagainya. Rois ‘Am bukan maqam saya. Walaupun ada yang mengusulkan, saya akan jadi yang pertama menolaknya.

Tiap muktamar memang punya dinamika sendiri. Biasa kalau agak tegang, nanti juga reda. Lebih-lebih, Muktamar kali ini bertempat di Jombang. Ini tempat keramat. Semua pendiri NU ada di sini dan menyaksikan. Saya yakin mereka yang berniat mencelakakan NU akan celaka sendiri.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3684 seconds (0.1#10.140)