Ahok dan Jakarta Baru

Jum'at, 27 Februari 2015 - 10:22 WIB
Ahok dan Jakarta Baru
Ahok dan Jakarta Baru
A A A
Jalan kelam menghadang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tepat memasuki 100 hari pemerintahannya setelah menggantikan JokoWidod o( Jokowi),tokoh asal Bangka Belitung tersebut mendapat kado buruk dari DPR, yakni hak angket.

Seluruh fraksi bulat mendukung penggunaan hak yang bisa berujung pada pemakzulan. Hak angket diajukan untuk meminta pertanggungjawaban eksekutif terkait Perda APBD DKI 2015 yang dikembalikan Kemendagri. APBD ditolak karena berbeda dengan yang disetujui DPRDpada rapat paripurna 27 Januari lalu. Beberapa masalah lain yang dipersoalkan adalah rendahnya serapan anggaran dan rendahnya pendapatan dari yang ditargetkan.

Terlepas dari persoalan yang terkait implementasi perundangan dan kebijakan strategis, tak bisa dimungkiri hak angket merupakan puncak gunung es dari perseteruan Ahok dengan DPRD. Sejak awal, mantan politikus Partai Golkar dan Gerindra tersebut sudah menempatkan wakil rakyat sebagai musuh. Ahok memandang kalangan wakil rakyat sebagai perampok, pemain anggaran, dan penghambat perubahan. Kini nasi bisa disebut sudah menjadi bubur.

Pemakzulan yang menjadi ujung dari hak angket bisa menjadi kenyataan meski harus melalui proses. Bukan hanya politik,melainkan juga hukum yang panjang.Tapi yang pasti, konflik akan mengganggu pembangunan DKI Jakarta secara keseluruhan. JakartaBaru seperti menjadi visi Ahok saat bersama Jokowi berebut kepemimpinan DKI Jakarta bisa mengalamistagnasi,bahkan mundur. Tentu sangat disayangkan jika harapan akan Jakarta Baru luntur begitu saja.

Semestinya Ahok dan DPRD bisa bekerja sama dan bersinergi mewujudkan harapan perubahan. Secara teoretis, hal tersebut merupakan peran yang harus dimainkan seorang pemimpin perubahan, dalamhal ini gubernur DKI Jakarta.Berdasarkan teori delapan langkah Kotter dalam LeadingChange (JohnKotter, 1996), ternyata Ahok gagal melakukan apa yang disebut creating guiding coalition dengan kalangan DPRD yang merupakan stakeholder utama pembangunanJakarta.

Pangkal persoalan tidak lain adalah masalah komunikasi. Gaya berkomunikasi dan anger management yang sejak awal diterapkan Ahok terhadap semua pihak,terlepas substansi benar ata usalah,harus diakui tidak mewujudkan apa yang disebut communicating changevision efektif.

Akibatnya,yang terlihat bukan pemahaman bersama untuk mewujudkan visi perubahan,melainkan malah munculnya resistensi baru. Kegagalan Ahok merangkul koalisi dan mengomunikasikan visi tentu bisa menggagalkan harapan akan Jakarta Baru, karena Ahok tidak bisa sendirian membangun Jakarta.

Seharusnya di masa awal kepemimpinannya Ahok berusaha merangkul lawan politiknya untuk kepentingan DKI Jakarta. Setelah adanya hak angket, bisa dipastikan akan sulit bagi Ahok untuk mengambil langkah-langkah substantif lain seperti disaratkan delapan langkah Kotter, yang berujung pada penanaman budaya baru (Anchoring newapproaches in the culture ).

Jika benar demikian yang terjadi,Jakarta Baru hanya akan sebatas angan.Banjir,macet,birokrasi yang korup, persoalan perumahan,dan lain-lain pun berhenti pada senseofurgency tanpa solusi.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4677 seconds (0.1#10.140)