Jika Penguasa Sudah Menjadi Pelindung Musuh Allah Taala dan Membenci Orang Beriman

Senin, 14 November 2022 - 13:19 WIB
loading...
Jika Penguasa Sudah Menjadi Pelindung Musuh Allah Taala dan Membenci Orang Beriman
Jenis kemurtadan yang paling berbahaya adalah kemurtadan seorang penguasa. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menyebut ciri-ciri penguasa yang murtad . Mereka menjadi pelindung musuh-musuh Allah SWT dan memusuhi wali-wali Allah atau orang-orang beriman. "Jenis kemurtadan yang paling berbahaya adalah kemurtadan seorang penguasa," ujarnya.

Seorang penyair mengatakan: "Penggembala kambing itu semestinya memelihara kambingnya dari serigala, tetapi bagaimana jika para penggembala itu sendiri menjadi serigala."

Menurut al-Qardhawi, penguasa seperti ini telah menjadi pendukung dan pelindung musuh-musuh Allah, dan ia memusuhi wali-wali Allah (orang-orang yang beriman), menghina akidah, melecehkan syariat, tidak menghargai perintah dan larangan Allah dan Nabi-Nya, merendahkan seluruh kesucian dan kemuliaan ummat yaitu para sahabat yang abrar, dan keluarga Nabi yang ath-haar, khulafa' akhyaar dan para imam yang alim dan para pahlawan Islam.

"Mereka itu menganggap bahwa orang yang berpegang teguh pada syariat Islam sebagai kriminal dan ekstrimis," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" atau "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" (Citra Islami Press, 1997)



Mereka tidak cukup berbuat demikian, kata al-Qardhawi, tetapi mereka bekerja sesuai dengan falsafah (teori) "Taifif Al Manaabi'" (mengeringkan/mematikan sumber) dengan berterus terang, dalam pendidikan, penerangan dan kebudayaan. Sehingga tidak tumbuh (muncul) dari padanya kecerdasan seorang Muslim dan tidak pula kepribadian seorang Muslim.

Mereka tidak berhenti sampai di situ, tetapi mereka juga mengusir (menekan) para dai yang sebenarnya. Mereka menutup pintu-pintu bagi setiap gerakan dakwah yang jujur yang menginginkan pembaharuan dan aktualisasi semangat beragama serta memajukan (memakmurkan) dunia berdasarkan dien.

Anehnya, kata al-Qardhawi, sebagian dari mereka--selain yang berterus terang dengan kemurtadannya--ada yang senang menggunakan simbul Islam agar dikatakan oleh ummat bahwa mereka itu orang-orang Islam.

Padahal mereka ingin merobohkan bangunan ummat dari dalam. Sebagian mereka ada yang berusaha menjadikan agama sebagai sentuhan saja yaitu dengan mendorong masyarakat untuk beragama dengan berpura-pura dan merekrut para ulama yang sering disebut "Ulama Sulthah dan Ulama Syurthah"(ulama pemerintah dan spionase penguasa).

Di sinilah keadaan menjadi sulit, siapakah yang akan melaksanakan had (hukuman) kepada mereka? Atau siapakah orang (ulama) yang berani memberi fatwa atas kekufuran mereka, padahal itu kekufuran yang nyata yang dalam istilah hadis disebut "Kufrun Bawwah." Siapakah yang akan menghukumi kemurtadan mereka, sementara lembaga fatwa dan peradilan yang resmi (sah) ada di tangan (kekuasaan) mereka?

Maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali pembentukan "Opini Umum" ummat Islam dan kesadaran umum yang Islami. Yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang bebas (dari jeratan jahiliyah) dari para ulama, para da'i dan para pemikir yang masih teguh dan tsabat di saat pintu-pintu di hadapannya telah ditutup, dan segala jalan telah diputus.



Di saat itu mereka akan berubah menjadi gunung berapi yang akan meletus di hadapan para Thaghut yang murtad. "Maka bukan persoalan yang gampang menghilangkan masyarakat Islam dari identitasnya atau menjatuhkan akidah dan risalahnya yang itu merupakan sumber kekuatan dan rahasia kekekalannya," ujar al-Qardhawi.

Menurut al-Qardhawi, telah teruji dalam sejarah penjajahan Barat (Perancis) di Aljazair dan penjajahan timur (Rusia) di berbagai wilayah negara-negara Islam di Asia --meskipun pengalaman itu keras dan memakan waktu cukup lama di sana-sini--bahwa mereka tidak bisa mencabut akar identitas Islam dan kepribadian Islami dari ummat Islam. Akhirnya pergilah para penjajah itu dan tetaplah Islam dan kaum Muslimin dengan keberadaannya.

Hanya saja peperangan yang disulut untuk menghadapi Islam dan para da'inya oleh sebagian penguasa Nasionalis sekuler yang kebarat-baratan di sebuah negara. maka setelah negara itu merdeka, permusuhannya justru lebih tajam dan semakin keras daripada peperangan/serangan pada penjajah itu sendiri.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1853 seconds (0.1#10.140)