Vonis MA Ancam Investasi di Indonesia

Minggu, 16 November 2014 - 18:15 WIB
Vonis MA Ancam Investasi di Indonesia
Vonis MA Ancam Investasi di Indonesia
A A A
SENGKETA kepemilikan TPI yang diperebutkan PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana divonis Mahkamah Agung. Majelis Hakim yang diketuai Mohammad Saleh, dan dengan hakim anggota Hamdi serta Abdul Manan menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Berkah.

Namun vonis ini meninggalkan masalah. Pasalnya kedua pihak sebelumnya sudah sepakat menyelesaikan sengketa ini ke ranah arbitrase, seperti yang termaktub dalam klausul perjanjian bisnis.

Beberapa pengamat hukum hingga anggota Komisi Hukum di DPR menyesalkan sikap Mahkamah Agung yang memaksakan diri untuk memvonis perkara sengketa bisnis tersebut. Pasalnya, langkah para pihak membawa sengketa tersebut ke ranah arbitrase sebenarnya sudah tepat. Seharusnya, Mahkamah Agung tidak memaksakan diri untuk memutus perkara.

Di sisi lain, proses hukum sengketa bisnis ke ranah pengadilan umum, dianggap akan membuat Indonesia semakin terkenal dengan negara yang tak ramah bagi para investor. Karena tidak tertibnya hukum yang ada di Indonesia.

Pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta berpendapat, putusan Mahkamah Agung seperti itu jelas akan mengancam investasi di Indonesia.

Berikut wawancara khusus Sindonews bersama RCTI yang mengunjungi Frans di kediamannya beberapa waktu lalu.

Seberapa penting arbitrase dalam perjanjian bisnis?

Sangat penting. Di mana pun juga dalam bisnis itu, bertransaksi atau ada kerja sama, ada proyek, tidak mungkin dalam bisnis itu tidak terjadi sengketa. Jadi sengketa bisnis itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-­mana. Apalagi ini sekarang sudah lintas negara.

Jadi sekarang itu sengketa bisnis itu bukan hanya antar warga negara sendiri atau perusahaan dalam negeri sendiri suatu negara, tapi sudah lintas negara. Jadi arbitrase itu ada arbitrase perdagangan internasional, bukan arbitrase nasional saja.

Sehingga mau tidak mau ini ada sangkut­pautnya dengan investasi asing di Indonesia dan investasi dalam negeri juga. Jadi kalau ditanya betapa pentingnya ini (arbitrase dalam bisnis)? Sangat penting.

Di mana letak pentingnya arbitrase ini?

Pentingnya kalau para pihak sudah memilih suatu lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional. Maka sebetulnya secara mutlak sudah tertutup bagi pengadilan negeri untuk mengadili perkara itu.

Sudah tertutup sama sekali. Itu ada di UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, jelas itu. Dan tidak peduli apakah alasan gugatan itu wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Bahwa ada sebuah klausul di dalam investment agreement di antara kedua belah pihak. Kemudian mencantumkan klausul arbitrase. Dalam perjalanannya kemudian ada satu persoalan yang kemudian dilakukan oleh salah satu pihak yang dibawa ke tingkat pengadilan. Bahkan sampai tingkat pengadilan, Mahkamah Agung itu memberikan dan memutus perkara yang tadi sudah ada klausul arbitrase. Betul atau tidakkah dengan sikap demikian?

Menurut saya ini bertentangan dengan ketentuan undang-­undang arbitrase. Karena istilahnya kalau sudah disepakati oleh para pihak, yang dalam undang­-undang arbitrase, baik nasional maupun internasional.

Sudah dicanangkan itu, kalau dua pihak dalam bisnis itu setuju dan sepakat untuk memilih lembaga arbitrase sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya, maka sudah tertutup sama sekali untuk peradilan mengadili dan memproses di pengadilan sengketa ini.

Tapi persoalannya dari pihak Mahkamah Agung, mereka merasa memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara tersebut. Karena mereka memeriksa persoalan perbuatan melawan hukum dalam perkara yang diajukan ke pengadilan ini. Apakah itu bisa dilakukan?

Kembali lagi pada undang­-undang arbitrase kita menyataan, apakah alasannya itu karena wanprestasi yaitu melanggar kontraknya, di mana kontraknya sudah memilih lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak.

Demikian pula kalau itu didasarkan perbuatan melanggar hukum, sama saja, mutlak harus ke badan arbitrase. Tapi jelas dalam perjanjian arbitrase itu atau klausul arbitrase itu, sudah jelas yang harus disepakati oleh kedua pihak, untuk menyelesaikan sengketa mereka.

Itu mutlak keputusan arbitrase ini mengikat kepada para pihak dan tidak bisa berubah begitu saja, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.

Bagaimana analisa bapak, melihat lembaga peradilan yang sudah berani tetap memeriksa sebuah perkara. Padahal sudah ada lampiran klausul arbitrase dalam perjanjian bisnis mereka?

Saya kira imbasnya pertama pada reputasi hakim atau majelis hakim itu. Kedua dari promosi dia akan terhambat, karena dia membuat kesalahan yang bertentangan dengan undang­-undang. Di mana undang­-undang menyatakan, pengadilan tidak punya yurisdiksi untuk mengadili sengketa bisnis yang sudah dipilih para pihak untuk dijadikan forum menyelesaikan sengketanya.

Kedua, saat ini khususnya pemerintah Jokowi sedang gencar­-gencarnya mengundang investor untuk membangun pelabuhan, jalan, airport, tapi tahu­-tahu sengketa bisnis ini diselesaikan oleh pengadilan. Karena itu selama ini di forum­-forum internasional kita selalu dinamakan unfriendly state, jadi negara yang tidak bersahabat dalam arbitrase perdagangan baik nasional maupun internasional.

Dan ini akan memberikan dampak yang luas terhadap iklim investasi di Indonesia, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini akan menjadi preseden yang buruk sekali untuk investor masuk ke Indonesia.

Perjanjian para pihak itu sudah mengikat dan tidak boleh berubah­-ubah, mengingkarinya apalagi. Apakah pihak­-pihak yang mengabaikan perjanjian ini, bisa dikatakan dari tindakan melawan hukum?

Saya kira bukan tindakan melawan hukum. Kalau dia tidak mengikuti perjanjian itu, artinya dia mengingkari janjinya yang sudah disepakati, yaitu janji untuk membawanya ini ke badan arbitrase. Akibat dari itu, (proses) di arbitrase tetap bisa jalan terus dan ini yang akan kalau memang kita percaya supremasi hukum, maka keputusan arbitrase yang harus diambil, bukan keputusan pengadilan.

Karena kekuatan dari partai otonomi, partai otonomi itu adalah suatu prinsip kepada kedua belah pihak sudah menyepakati menggunakan forum arbitrase perdagangan untuk menyelesaikan sengketanya, tidak boleh lagi menyimpang dari itu dengan pengadilan.

Ini akan berdampak luas, bukan pada mereka saja, tapi pada dunia bisnis pada umumnya. Khususnya kepada investor, dan Indonesia akan terus dicap sebagai unfriendly state.

Bagaimana dengan aparat penegak hukum. Bahwa penegak hukumnya mengetahui bahwa sebuah perkara ini tidak bagian dari yurisdiksi yang dia miliki, tapi mereka tetap memberikan suatu keputusan. Apakah aparat hukum itu dapat dikatakan perbuatan melawan hukum?

Bukan itu yang paling penting sekarang. Yang penting sekarang adalah betapa para pejabat atau pengadilan, tidak mengerti prinsip­-prinsip dari perdagangan arbitrase. Jelas di sini para hakim tidak mengerti akan asas atau kompetensi­-kompetensi yang artinya ketika di challenge arbitrase itu kewenangannya atau yurisdiksinya, maka dia harusnya jalan terus dan diakui keputusannnya. Ketimbang putusan pengadilan.

Maka arbitrase ini jalan terus dan keputusannya diakui baik secara nasional maupun internasional. Kalau kita tidak mengakui itu, maka kita akan terus terlempar dari suatu negara yang sama sekali tidak ramah dan kepastian hukum, dan terutama dalam arbitrase perdagangan itu tadi.

Arbitrase itu sifatnya rahasia, tertutup dan final/mengikat, tidak bisa banding dan kasasi. Ini (arbitrase) selambat­-lambatnya enam bulan jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5321 seconds (0.1#10.140)