Program 7 Hari Pendidikan, Kearifan Lokal ala Purwakarta

Rabu, 17 September 2014 - 20:16 WIB
Program 7 Hari Pendidikan, Kearifan Lokal ala Purwakarta
Program 7 Hari Pendidikan, Kearifan Lokal ala Purwakarta
A A A
JAKARTA - Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, terus berupaya dalam mengembalikan kearifan lokal. Pendidikan dianggap kunci untuk bisa memuluskan cita-cita tersebut.

“Kami pemerintah Kabupaten Purwakarta sedang berupaya untuk menumbuhkan kearifan budaya lokal. Mengajak masyarakat untuk mengenal, mencintai dan bisa memegang teguh kearifan budaya lokal khas Purwakarta meskipun sulit adanya,” kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi kepada Sindonews, usai acara Roundtable Discussion Koran Sindo, Jakarta, Rabu (17/9/2014).

Ia melanjutkan, pihaknya agak kesulitan mengajak masyarakat Purwakarta yang dari awalnya sudah menjadi masyarakat industrial.

“Dari sistem pendidikan kami sedang menerapkan Program Tujuh Hari Pendidikan Purwakarta Istimewa. Program ini terdiri dari muatan berbagai aspek agar murid-murid bisa mengenal kearifan lokal,” tutur Dedi.

Hari pertama untuk program di atas dinamakan Ajeg Nusantara. Jadi guru akan mengajarkan muridnya seluruh mata pelajaran dikaitkan dengan budaya yang ada di nusantara.

Hari kedua, Mapag di Buana atau menjemput dunia. Maksudnya anak-anak akan diberikan pengetahuan tentang dunia internasional. Hari ketiga Maneuh di Sunda, muatannya berisi pendidikan khas Sunda.

Keempat diberi nama Nyanding Wawangian, ini hari khusus belajar estetika. Dijelaskan, murid belajar sastra, mendekorasi ruangan dan lain sebagainya.

"Hari Jumat diberi nama Nyucikeun Diri. Di hari Jumat itu berisi penanaman nilai spiritual dan kebersihan lingkungan. Untuk Hari Sabtu dan Minggu diberi nama Betah di Imah karena hari libur anak sekolah tidak boleh dibebani harus rileks,” jelas Dedi.

Selain pendidikan, Bupati Purwakarta juga menerapkan aturan yang tegas mengenai kearifan lokal dalam hal membuat sebuah perumahan.

“Untuk para pengembang tidak boleh menggunakan nama aneh-aneh. Yang diperbolehkan misalnya nama Perumahan Kampung Awi Luar. Pengembang juga dilarang mendirikan rumah terlalu banyak, karena keberadaan penduduk asli khawatir tergusur adanya perumahan baru itu,” tutup Dedi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8994 seconds (0.1#10.140)