Antropologi capres

Kamis, 06 Maret 2014 - 08:10 WIB
Antropologi capres
Antropologi capres
A A A
TAHUN 2014 adalah tahun politik, tahun Presiden Baru. Presiden itu penting dan menentukan masa depan bangsa. Alhasil, persoalan presiden adalah urusan segenap bangsa Indonesia, bukan hanya partai politik.

Persoalan apa dan siapa calon-calon presiden (capres) juga bukanlah melulu urusan ilmu politik dan lembaga survei saja. Apalagi di tangan yang terakhir ini, soal capres direduksi menjadi semata-mata soal angka: berapa persen tingkat popularitas dan elektabilitas capres A, capres B, dan capres C. Benar, soal capres di era demokrasi langsung dan deliberatif seperti sekarang ini, bisa dijajaki melalui survei. Tetapi terlalu simplistis jika kemudian soal capres itu kita serahkan hanya kepada lembaga survei.

Kita juga sudah bosan disuguhi hasil-hasil survei capres yang sangat numerikal dan statistikal itu! Memang benar di tangan ilmu politik pembahasan apa dan siapa capres memiliki presisi dan akurasi yang lebih baik. Sayangnya sekarang ini semua orang, apa pun latar belakang studinya, menjadi pengamat politik. Meski tidak dididik dalam disiplin ilmu politik, mereka menyampaikan analisisnya masing-masing mengenai capres dengan penuh antusiasme.

Tidak ada yang mempermasalahkan jika hasil pengamatannya sangat impresif dan tidak jelas konstruksi teoritisnya. Yang penting, banyak yang tertarik untuk mengikuti analisisnya melalui media massa. Belum lagi ramalan para dukun dan paranormal politik. Akhir-akhir ini ada juga ilmu psikologi politik: yang bergiat menganalisis (dan menguliti) perilaku para capres dan politisi sampai yang bersangkutan termehek-mehek. Ada juga ilmu ekonomi politik atau ekonomi pemilu yang membahas biaya politik yang harus disiapkan oleh para capres.

Apanya yang menarik, toh sudah bukan rahasia lagi kalau untuk maju sebagai capres dibutuhkan uang ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Semua orang juga tahu bahwa di belakang setiap capres (apalagi capres yang tong-pis, kantongnya tipis, dan tong-pes, alias kantongnya kempes) pastilah ada orang atau sederet orang kaya yang bertindak sebagai bandar penyandang dananya. Sudahlah, mengaku saja!

Antropologi, bicaralah!
Dalam konteks ini rasanya sangatlah menarik melihat capres secara antropologi. Jadi, sebut saja, antropologi capres! Namanya juga antropologi, tentunya kajian ini bersifat primaeval atau primordial: melihat segala sesuatunya dalam kategori-kategori yang paling awal atau mula, seperti latar belakang suku atau etnis, budaya atau agama, dan adat istiadat para capres yang tentunya agak sensitif. Antropologi memang selalu memulai dari kategorikategori primordial yang primitif.

Menurut antropologi primitif tidak berkonotasi negatif dan peyoratif. Hanya orang modern yang memandang rendah orang primitif. Ini tentu tidak mengherankan oleh karena kata primitif itu memang diciptakan oleh orang-orang modern yang dikenal sangat egosentris dan etnosentris. Padahal, primitif adalah menunjukkan masa-masa awal pembentukan kebudayaan yang justru mencerminkan keaslian dan keotentikan.

Marilah kita mulai kajian ini. Pertama, kajian ini bisa dimulai, misalnya, dengan pertanyaan mengapa setelah Soempah Pemoeda 1928 bangsa Indonesia masih ada yang berpikir secara etnis dan berpandangan bahwa presiden Indonesia sebaiknya Jawa? Bagaimana sebenarnya nation and charcter building yang kita lakukan selama ini sehingga integrasi bangsa belum juga tuntas setelah merdeka 68 tahun?

Fakta masih banyaknya orang berpikir dalam kerangka etnisitas dalam pencalonan presiden seperti itu membuktikan belum tuntasnya pembangunan bangsa (nation building) untuk integrasi bangsa. Mungkin benar apa yang dikatakan KS Sandhu, dulu direktur Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura, bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir ini faktor-faktor etnis telah membingungkan banyak analis sosial karena perannya yang tetap ada.

”Harapan liberal” bahwa modernisasi akan mengaburkan perbedaan etnis, prestasi akan menggantikan askripsi, serta meluasnya komunikasi dan pendidikan akan membuat masyarakat semakin homogen, ternyata tidak menjadi kenyataan. Demikian juga harapan radikal bahwa perbedaan budaya akan lenyap seiring dengan munculnya kesadaran kelas ternyata juga cuma tinggal harapan.

Kenyataan justru menunjukkan kebalikannya: budaya dan etnis tetap ada pada hampir setiap segi kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Bahkan, tampaknya perbedaan-perbedaan yang berdasarkan faktor-faktor tersebut di banyak masyarakat telah menjadi semakin tajam. Kelompok-kelompok kepentingan etnis dan agama lebih vokal menuntut. Dalam kondisi seperti inilah kompleksitas etnis, agama, dan bahasa tampaknya semakin menantang dibanding masa sebelumnya.

Maka pemahaman kita bahwa Indonesia ini majemuk atau pluralis perlu dimajukan lagi. Jika sebelumnya paham pluralisme hanyalah kesadaran bahwa kita terdiri dari berbagai-bagai suku, etnis, bahasa, budaya, kini harus diberi pemahaman baru, yaitu menjadikan pluralisme sebagai prosedur hidup bersama secara nyaman, atau dengan kata lain menjadikan pluralisme sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, reaktualisasinya perlu diperkuat dengan strategi kebudayaan yang jitu. Antropologi bisa bicara banyak dalam persoalan ini.

Budaya keterbukaan
Kedua, kalau pertanyaan pertama tadi sangat ideologis, pertanyaan atau topik kedua ini agak aktual dan sedikit politispraktis. Dus, sedikit sensitif. Antropologi capres dapat mengkaji mengapa kebanyakan capres yang sudah terang-terangan menyatakan siap maju adalah berlatar belakang etnis non Jawa?

Apakah ini berarti bahwa di belantika perpolitikan nasional, tokoh-tokoh yang dibesarkan dalam budaya non Jawa lebih terbuka, egaliter, dan berterus terang dalam mengekspresikan keinginannya dibandingkan tokoh-tokoh Jawa yang cenderung ewuh pekewuh? Apakah ini berarti budaya non Jawa lebih kompatibel dengan sikap keterbukaan dan keterusterangan yang menjadi salah satu prasyarat demokrasi langsung dan deliberatif?

Fenomena ini juga menarik: mengapa para ketua umum partai politik yang berlatar belakang Jawa kebanyakan tidak— atau belum—menyatakan maju sebagai capres? Padahal jika saja mau dan siap, mereka itu mempunyai peluang yang sangat besar untuk ditetapkan oleh partainya menjadi capres. Bahkan, lihatlah, ketua umum sebuah partai besar yang kebetulan Jawa sampai hari ini belum juga menyatakan siap maju menjadi capres. Pokoknya, kecuali satu atau dua orang ketua umum partai, kalau Jawa cenderung sungkan, malu-malu atau ewuh pakewuh.

Ketiga, lebih menarik lagi mengapa tokoh berlatar belakang Jawa yang berani menyatakan terbuka maju sebagai capres kebanyakan berlatar belakang militer dan berpangkat jenderal? Penulis tidak menemukan jenderal non-Jawa yang menyatakan siap maju menjadi capres. Fenomena ini tentunya sangat menarik untuk dikaji.

Apakah kecenderungan ini ada kaitannya dengan ”doktrin lama” dan ”ajaran kuno” yang dulu sangat dipercaya dalam rentang waktu sekian lama yang berbunyi bahwa presiden Indonesia sebaiknya Jawa-Islam-Militer? Ini bidang kajian akademis yang menarik secara antropologis. Kebanyakan orang Jawa— tentu ini agak stereotipikal dan karena itu tentu tidak semuanya— memang cenderung lingsem (malu) untuk menyatakan maju secara terus terang.

Menariknya, ada tokoh Jawa, meski dalam semua survei peringkat keterpilihannya sangat tinggi, tetap saja mengatakan “saya tidak mikir, tidak mikir...” atau ”saya berdoa pun tidak berani..”. Padahal semua orang juga tahu alih-alih menjadi presiden, menjadi menteri atau gubernur, bahkan bupati/wali kota saja mau, masak mereka menjadi capres tidak mau? Mau nglimpe kok ora kira-kira! Orang Jawa, mungkin, karena faktor budayanya cenderung tidak berterus terang kecuali mereka yang berlatar belakang militer tadi.

Alhasil, pendidikan militer yang serbategas, keras, disiplin, dan mementingkan kesamaptaan jiwa raga itu telah mengubah kultur Jawa yang serba tertutup menjadi terus terang, malu-malu menjadi mau dan tidak malu, ewuh pakewuh menjadi bloko suto atau blak kotang, dan last but not least, maaf, dari biso rumongso menjadi rumongso biso. Tak heran kebanyakan capres dan presiden yang berlatar belakang Jawa sebagian terbesar pastilah jenderal militer.

Nah, sekarang yang penting saya sudah memulai kajian ini. Kini giliran ahli antropologi yang benar-benar antropolog untuk tampil menyampaikan perspektifnya tentang capres Indonesia secara akademis dan teoritis. Itulah antropologi capres! Semoga.

HAJRIYANTO Y THOHARI
Alumnus Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8503 seconds (0.1#10.140)