Revisi Permentan soal perkebunan perlu dikaji ulang

Jum'at, 14 Juni 2013 - 20:07 WIB
Revisi Permentan soal perkebunan perlu dikaji ulang
Revisi Permentan soal perkebunan perlu dikaji ulang
A A A
Sindonews.com - Draf revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan, dinilai tidak berpihak terhadap rakyat, sehingga Kemeterian Pertanian (Kementan) diminta untuk menangguhkannnya.

Hal itu dikatakan oleh Aliansi Kebun Untuk Rakyat yang terdiri dari ELSAM, ICW, Sawit Watch, dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mereka menilai banyak kejanggalan dalam beberapa pasal dalam revisi Permentan itu.

“Ada beberapa poin yang janggal dan perlu dikaji ulang, untuk itu pihak terkait perlu menangguhkan untuk pengasahannya,” kata Direktur Advokasi Elsam Andi Muttaqien, saat diskusi dengan tema “Revisi Peraturan Isin Usaha Perkebunan : Regulasi Untuk Korporasi dan Koruptor” di Jakarta, Jumat (14/6/2013).

Menurut dia, ada beberapa catatan dalam draf revisi permentan itu yang harus dikaji ulang. Diantaranya, pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa pembatasan Hak Guna Usaha (HGU) untuk sektor perkebunan seperti sawit sebesar 100.000 hektare se-Indonesia.

"Pemerintah beralasan pembatasan itu dilakukan agar tidak terjadi kartel penguasaan lahan sawit atau perkebunan lainnya di Indonesia," ucapnya.

Dia menyayangkan, pembatasan dalam revisi permentan itu tidak berlaku bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi dan Perusahaan Perkebunan dengan status perseroan (go public) yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat.

“Dengan pengecualian itu dikhawatirkan monopoli korporasi karena semua bentuk perusahaan perkebunan saat ini hanya dalam bentuk tersebut, kecuali perkebunan rakyat,” ujarnya.

Selanjutnya, dilihat dalam revisi pasal 48 ayat (1) masih memungkinkan adanya pengoperasian perusahaan walaupun tanpa HGU. Dalam pasal tersebut dijelaskan diberikan waktu dua tahun untuk perusahaan menyelesaikan haknya atas tanah, namun masih dimungkinkan beroperasi.

“Hal itu besar kemungkinan adanya perampasan terhadap hak masyarakat. Seharusnya persoalan alas hak sudah diselesaikan di depan sebelum mulai perusahaan perkebunan beroperasi,” ujarnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6072 seconds (0.1#10.140)