Aksi Damai dalam Ketidakadilan Ekonomi

Selasa, 06 Desember 2016 - 13:07 WIB
Aksi Damai dalam Ketidakadilan Ekonomi
Aksi Damai dalam Ketidakadilan Ekonomi
A A A
Mukhaer Pakkanna
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
Wakil Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah

AKSI Superdamai umat Islam pada 2 Desember 2016 yang dipusatkan di tugu Monas, Jakarta Pusat, berjalan sesuai harapan. Banyak pesan tersirat yang bisa dibaca. Aksi damai itu secara imperatif memiliki pesan agar ”prahara Ahok” segera dituntaskan melalui proses hukum yang adil. Jika lambat, prahara itu tetap menjadi titik episentrum gejolak perpolitikan dan tetap menciptakan kutub polarisasi di masyarakat.

Jika ditelaah, sejatinya ”prahara Ahok” hanyalah sebuah ”puncak gunung es”. Inti dasarnya, kekecewaan publik terhadap fakta ketidakadilan dan ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah berakar.

Pernyataan kontroversial Ahok hanyalah pemantik awal dari kekecewaan publik terutama mereka yang selama ini terhalangi aksesibilitasnya ke sumber daya sosial, ekonomi, dan politik. Kekecewaan itu menggumpal kusut ibarat ”api dalam sekam”, kemudian tersulut atas tuduhan penistaan Alquran.

Ketimpangan Sosial
Stigma simbolik terhadap sosok Ahok karena dianggap representasi dari pengusung kuasa ekonomi dan politik yang tidak adil. Di sisi yang lain, rakyat yang secara numerikal mayoritas umat Islam telah banyak merasakan sebagai korban ketidakadilan ekonomi dan politik. Bung Hatta (1975) sudah lama berpesan bahwa damai perlu ditegakkan, damai hanya bisa tegak di atas keadilan sosial.

Perdamaian dalam Islam, bagi Hatta, yakni; (1) perdamaian tidak syak lagi adalah cita-cita Islam; (2) didikan Islam adalah didikan damai; (3) kata kunci dalam Islam adalah perdamaian; (4) perdamaian senantiasa menjadi titik tolak Islam; (5) Islam memimpin kita ke jalan damai; dan karena itu, (6) hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam adalah damai.

Dengan demikian, jangan berharap ada perdamaian jika keadilan tidak tegak. Karena itu, fakta-fakta ketidakadilan dan ketimpangan harus diselesaikan. Bagaimana mungkin kita bisa hidup damai jika pendapatan negara dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya.

Sementara 80% penduduk - atau lebih dari 205 juta orang - rawan merasa tertinggal. Ataukah, 50 orang terkaya di Indonesia kekayaannya mencapai USD99 miliar atau sekitar Rp1.236 triliun. Nilai kekayaan sebesar ini ekuivalen dengan 13% dari PDB Indonesia (2015).

Kemudian dalam rentang 2005-2014, bagian 10% terkaya di Indonesia menambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka hanya tumbuh kurang dari 1,6% per tahun. Bahkan, pada 2014 konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin (Bank Dunia, 2014).

Ataukah, bagaimana mungkin kita bisa hidup damai jika tanah (lahan) di Indonesia dikuasai pemilik modal raksasa dan asing? Bayangkan jika 0,2% penduduk menguasai 66% aset lahan nasional. Merujuk riset Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2015), sekitar 35% daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara.

Maka itu, tidak mengherankan jika persoalan ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ataupun sumber daya alam selalu menjadi prahara. Pemerintah bahkan membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan, lahan tambang, perkebunan besar, dan pembukaan tambak tanpa mempertimbangkan nasib warga miskin yang hidup dari lahan tersebut. Ihwal itulah yang menimbulkan ketimpangan struktur penguasaan tanah yang akut.

Justru yang membuat miris, seperti yang diungkap the Institute For Global Justice (IGJ), kepemilikan lahan secara besar-besaran ini dilindungi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Dengan begitu, hingga kini 175 juta hektare atau setara 93% luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta dan asing.

Bagaimana kondisi ketimpangan di Jakarta sebagai titik episentrum ”prahara Ahok? Mahalnya harga tanah di Jakarta tidak lepas dari pesatnya pertumbuhan bisnis properti. Merujuk konsultan properti, Knight Frank, menobatkan Jakarta di peringkat tertinggi dalam perkembangan rerata Global Prime Cities Index (2014), Jakarta mengungguli perkembangan dari 30 kota lain di dunia. Global Cities Index meliputi perkembangan pasar real estate di kota-kota besar dunia. Konsekuensinya apa?

Tentu warga miskin kota menjadi korban penggusuran lahan, bahkan secara biadab. Demikian juga lahan di kawasan penyangga Jakarta juga dikuasai oleh pengembang properti raksasa yang menggandeng asing.

Mengonfirmasi hasil riset CIDES (2014) dan Universitas Tarumanagara (2012) bahwa 28 kota baru di Area Metropolitan Jakarta atau Jabodetabek dikuasai tujuh pengembang besar. Tujuh pengembang tersebut adalah Sinarmas Land, Jaya Real Property, Lippo Group, Summarecon, Paramount Land, Alam Sutera, dan Bakrieland Development. Penguasaan lahan ribuan hektare ini kian menambah ketimpangan kepemilikan lahan.

Tegakkan Keadilan
Alih-alih sentimen keagamaan merupakan faktor determinan ”prahara Ahok”, faktor ketidakadilan dan ketimpangan yang justru lebih fundamental pemicunya. Mengapa reproduksi ketidakadilan selalu mengemuka? Karena, negara selalu melakukan pembiaran.

Negara yang diwakili aparatur pemerintahnya selalu memihak ke pemilik modal dan tengkulak. Hiruk-pikuk demokrasi politik membutuhkan pasokan dana dari pemilik modal. Perselingkuhan antara pemilik modal dan penguasa politik telah mencederai makna demokrasi politik.

Di sisi yang lain, demokrasi politik tidak berjalan baik jika demokrasi ekonomi tidak tegak. Demokrasi ekonomi, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 ditandai oleh, ”dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”.

Sri Edi Swasono (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan berlangsungnya proses produksi dan distribusi.

Karena demokrasi ekonomi tidak tegak, aksesibilitas rakyat ke sumber daya-sumber daya ekonomi menjadi terhambat. Sementara demokrasi ekonomi hanya dijadikan aksesori politik para penguasa dan politisi. Dengan demikian, lahirlah ketimpangan. Ihwal ketimpangan sudah diingatkan Bung Hatta bahwa ”demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan menyebabkan berjayanya kepentingan individu di atas kepentingan orang banyak”.

Dengan demikian, pesan Aksi Damai dari ”prahara Ahok” itu bagaimana menyelesaikan persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Jangan sampai negeri yang kaya raya ini, yang memiliki sumber daya alam yang masih tersisa banyak dan memiliki khasanah keragaman budaya, kearifan lokal, etnis, suku, agama, dan lainnya, hanya dimiliki oleh kelompok tertentu.

Maka itu, langkah pertama, lakukan segera reformasi pertanahan dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan, termasuk sertifikasi lahan rakyat yang hanya bergerak di mulut pejabat pemerintah. Ihwal ini sangat terkait degan kehidupan rakyat.

Redistribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara dalam pemerataan kemakmuran. Pengaturan ini dimaksudkan supaya setiap orang mencapai skala usaha ekonomi yang cukup dalam pemanfaatan produktivitas lahan. Perlunya kebijakan batas maksimum agar setiap orang mengerjakan tanah berdasarkan kemampuannya.

Kedua, negara harus selalu menyapa rakyatnya. Berikan aksesibilitas yang seluas-luasnya bagi ekonomi rakyat, dan jangan biarkan ekonomi rakyat dieksploitasi oleh pemilik modal dengan dalih modernisasi ekonomi. Aksi Damai memberi pesan bahwa sentimen ujaran kebencian antara kelompok akan pupus jika keadilan dan pemerataan dikelola secara benar dan tegas oleh negara.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6994 seconds (0.1#10.140)