Kondisi Hukum Era Jokowi, Yusril Bilang Wasalam

Jum'at, 21 Oktober 2016 - 06:15 WIB
Kondisi Hukum Era Jokowi, Yusril Bilang Wasalam
Kondisi Hukum Era Jokowi, Yusril Bilang Wasalam
A A A
HUKUM harusnya menjadi panglima di negeri ini. Tanpa hukum, ketertiban dan keadilan mustahil tercipta. Maka itu, seorang pemimpin harusnya menjunjung tinggi hukum dalam menjalankan kekuasaannya.

Namun, bagaimana Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) memosisikan hukum dalam menjalankan kepemimpinannya selama dua tahun. Berikut hasil perbincangan SINDOnews dengan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Bagaimana wajah penegakan hukum selama kepemimpinan Jokowi-JK?

Kalau saya melihat sih sebenarnya dari awal sekali Pemerintahan Jokowi ini mulai menjalankan pemerintahan sudah terdapat kesalahan-kesalahan dalam penerapan hukum administrasi negara kemudian berdampak juga ke bidang-bidang hukum yang lain. Pertama sekali itu kesalahan-kesalahan dalam prosedur pengangkatan pengusulan orang dalam jabatan, sudah terjadi. Pada kasus Kapolri, pemberhentian dan penunjukan Plt Kapolri yang sebenarnya mengacaukan sistem yang ada.

Kedua, pada kasus partai politik, itu mulai dari kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai kasus Partai Golkar, kelihatannya dalam menegakkan dan menjalankan pemerintahan sesuai norma hukum yang berlaku, kelihatannya tidak baik. Jadi, pemerintahnya‎ seperti punya sebuah kepentingan, lalu memaksakan kehendaknya dan mengabaikan norma-norma hukum yang berlaku.

Misalnya dalam pengesahan partai politik pemerintah kan seharusnya netral, tidak memihak. Tapi kelihatan sekali terjadi pemihakan dan terjadi intervensi, sehingga partai politik yang merupakan salah satu organ penting dalam membangun demokrasi menjadi susah untuk bisa independen dan akhirnya harus melayani pihak yang berkuasa.

Di lihat dari segi penegakan hukum internasional terkait kedaulatan negara kelihatan sekali pemerintah kita tidak sungguh-sungguh menyadari adanya ancaman dari negara-negara lain terhadap kedaulatan negara kita. Misalnya klaim China atas Laut China Selatan yang berdampak luas terhadap konsep negara kita sebagai negara kepulauan.

Kemudian penegakan hukum laut, pemerintah kita punya program poros maritim yang match dengan cycle-nya China, sehingga bagi saya sebenarnya penegakan hukum di laut juga menjadi ancaman bagi kedaulatan negara di masa datang. Di bidang hukum pidana kita terjadi tebang pilih, pemaksaan kehendak.

Misalnya terjadi pada Gubernur DKI Jakarta yang ditimpa beberapa kasus, tapi begitu saja lolos, dan terbaca semacam ada barter-barter politik dalam penegakan hukum. Mulai dari kasus dinyatakannya tersangka para Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK‎) kemudian mereka belakangan kasusnya dideponering.

Itu pun suatu langkah menurut saya tidak positif dalam menegakkan hukum, seolah-olah kalau orang yang katanya pegiat antikorupsi sepertinya penerapan hukum pidana korupsi menjadi lemah pada mereka. Misalnya kasus Denny Indrayana sudah dinyatakan tersangka, perkaranya sudah dilimpahkan, sekarang orangnya di Australia.

Coba kalau orang lain, apa yang terjadi? Orang lain kalau dinyatakan tersangka, dicekal tidak bisa ke luar negeri, Denny malah tenang-tenang saja mengajar di Australia, begitu juga deponering kasus yang menimpa beberapa Komisioner KPK.

Itu menurut saya sih tidak sungguh-sungguh menegakkan hukum. Jadi sejauh di mana penghentian perkara itu dideponering untuk kepentingan umum, di mana letak kepentingan umumnya. Itu sudah dua kali terjadi pada KPK dan ini Kejaksaan Agung memberikan satu alasan deponering itu enggak mengembang, tidak jelas arahnya. Jadi terlihat jelas penegakan hukum tidak merata, tapi tebang pilih.

Apalagi dalam kasus yang menimpa mereka terkait politik langsung dengan pemerintah, penegakan hukumnya sangat lemah. Kasus Pak Surya Paloh misalnya, kasus Gubernur DKI Jakarta. Jadi seperti ada barter-barter politik.

Kasus Gubernur DKI Jakarta itu sebenarnya sudah terjadi penyimpangan prosedur dalam pengelolaan dana yang seharusnya dimasukan ke APBN. Misalnya mengenai denda dan kompensasi, ya semuanya itu dikelola begitu saja seperti mengelola uang negara seperti mengelola dana non budgeter seperti zaman di Orde Baru.

Ada kasus Sumber Waras yang menghebohkan, ada kasus beli tanah dua kali yang menghebohkan, ada kasus reklamasi. Kalau terjadi pada kepala daerah lain, sudah wasalam itu sebenarnya.

Tiap kali mau dibuka kasusnya, Gubernur DKI nya mengatakan seperti mengancam‎ presiden. Anda tidak akan menjadi presiden tanpa pengembang sebagainya-sebagainya. Makanya mengancam presiden ya kalau nanti dibuka juga kasus Transjakarta.

Jadi semua kelihatannya para aktor-aktor utama dalam politik kita tersandera, sehingga penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara optimal dan konsisten. Bagi saya sih penegakan hukum seperti itu sangat buruk lah.

Apalagi terasa juga intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap badan-badan yudikatif, itu juga terasa sekali. Justru di awal reformasi kita ingin sekali supaya pemerintah tidak lagi bersentuhan dengan bidang yudikatif. Ingat zaman saya juga pemisahan fungsi-fungsi antara eksekutif dengan yudikatif, sehingga hakim-hakim tidak lagi departemen kehakiman. Semua disatu atapkan di Mahkamah Agung.

Kita ingin sekali supaya badan peradilan itu independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Tapi seperti kita lihat banyak kasus terjadi, ya semacam sandera menyandera. ‎Akibatnya sukar mendapatkan putusan pengadilan yang bersifat objektif.

Bagaimana dengan kasus Arcandra Tahar?

Itu kan sebenarnya masalah hukum juga. Yang saya katakan tadi, dari awal pemerintah ini sudah kacau dalam menerapkan hukum adminitrasi negara. Masalah kewarganegaraan kan terkait administrasi negara, masalah pengangkatan menteri juga terkait dengan hukum administrasi negara.

Kelihatan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) nya seolah-olah ‎tidak mengerti hukum. Baik dalam pengesahan partai politik yang terjadi pada Golkar dan PPP maupun dalam kasus Arcandra ini.

Pemerintahnya kadang kurang hati-hati, lalu menerapkan hukum secara sembarangan, seperti ada kemauan dan kemauan itu dilegitimasi dengan hukum. Bukan kemauan itu menyesuaikan dengan aturan hukum. Jadi terbalik, itu yang terjadi.

Bagaimana anda melihat KPK sekarang?

Yang kita lihat juga dari segi aparatur, ini bukan lagi penegakan hukum. Dari segi aparatur, memang KPK yang sekarang agak lemah dibanding dengan KPK sebelumnya.

Ada harapan besar dari masyarakat agar KPK mampu menangani dan mengungkapkan kasus-kasus besar karena seperti itu lah sebenarnya maksud kita dulu membuat KPK. Saya orang yang mengajukan rancangan Undang-undang pembentukan KPK ke DPR sampai selesai.

Termasuk Prof Romli Atmasasmita, tapi sekarang rupanya tidak ada satu prestasi menonjol yang dilakukan KPK, baik dalam ‎pencegahan maupun dalam penindakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di masyarakat, maksudnya kasus-kasus besar. Tapi yang terungkap ini banyak kasus hasil penyadapan.

Penyadapan itu bukan merupakan suatu prestasi gemilang, karena menyadap orang nelepon ya, anda pun kalau dikasih alat penyadap bisa menyadap banyak orang juga. Jadi, yang sekalian ditangkap pun bukan merupakan kasus-kasus besar dan lebih banyak merupakan kasus penyuapan.

Kasus penyuapan tidak akan besar dari segi jumlah, itu pun sebenarnya belum tentu kerugian negara secara langsung, secara tidak langsung bisa. Katakanlah si Amat menyogok Bupati. Kerugian negaranya kan tidak langsung, walaupun kebijakan-kebijakan Bupati kemudian memperkaya Amat.

Tapi pada tingkat awalnya itu belum menjadi kerugian negara. Kan dulu KPK dibuat untuk menangani perkara-perkara yang kerugian negaranya di atas Rp1 Miliar. Itu sekarang kasus-kasus yang namanya orang menyadap, kemudian setelah disadap dilakukan operasi tangkap tangan belum tahu jumlah uangnya berapa.

Misalnya anda nelepon saya, katakan lah saya ini pejabat. Anda menyuap saya, Pak Yusril saya mau kasih uang Pak Yusril Rp5 miliar, terus kan disadap, setelah disadap dipersiapkan operasi tangkap tangan, tahu-tahu anda bawa uang Rp50 Juta.

Kenyatannya kan cuma Rp50 juta, itu ada unsur kerugian negara, memenuhi syarat Rp1 miliar enggak? Ya tanda tanya juga. Kewenangan KPK itu Rp1 miliar. Kalau misalnya begitu sih sudah ditangkap KPK, ya sudah kasih saja ke jaksa, polisi.

Jadi, ada sesuatu yang diharapkan oleh rakyat bahwa KPK akan menghasilkan sesuatu yang besar, tapi ya kelihatannya tidak seperti itu. Jadi banyak hal yang sebenarnya mencurigakan, misalnya kasus Sumber Waras, reklamasi, beli tanah di Cengkareng, itu ratusan miliar.

Tapi Ahok bilang BPK ngaco aja‎, sudah berhenti. Tapi kepada orang lain enggak seperti itu. Kasus-kasus yang tidak melibatkan kerugian negara atau banyak pun bisa. Kalau bupati-bupati tempat lain sudah selesai itu ceritanya, atau gubernur di tempat lain.

Jadi kelihatan makin hari itu, wibawa penegakan hukum semakin merosot. Ini berimplikasi kepada hal-hal lain. Ambil contoh tax amnesty, kalau menteri keuangannya enggak diganti dengan Sri Mulyani‎, mungkin orang enggak percaya, kalau dikasih sama si Bambang Brodjonegoro, mungkin orang juga enggak meyakinkan, tapi ya ketika menteri keuangannya Sri Mulyani orang ada rasa confident.

Sekarang ini kan setiap rakyat terpaksa harus melapor tax amnesty, lalu harus bayar juga dengan uang mereka. Ya sebenarnya sasarannya kan bukan untuk itu, sasarannya untuk konglomerat-konglomerat yang menyimpan uang di luar negeri.

Bagaimana dengan Kejaksaan Agung yang dipimpin Prasetyo?

Hehehe... tidak ada prestasi luar biasa, karena kelihatannya tersandera juga, mungkin juga dia orang Partai Nasdem, pasti lah. Saya pernah juga jadi ketua partai, Jaksa Agungnya orang Partai Bulan Bintang (PBB), waktu Abdurrahman Saleh, tapi saya enggak pernah tuh intervensi apapun ke Abdurrahman Saleh.

Apalagi saya punya target bisnis segala macam menggunakan jaksa, enggak pernah. Selama Abdurrahman Saleh jadi Jaksa Agung, cuma satu kali saya bicara sama dia, ketika Pak Soeharto kritis di Rumah Sakit Pertamina, tapi itu bukan masalah kaitannya dengan kepentingan saya, tapi kaitannya dengan kepentingan negara.

Jadi Pak Harto itu kan diadili, tapi dinyatakan unfit, lalu perkaranya dicoret dari pengadilan, diserahkan kembali ke kejaksaan. Kalau suatu saat Pak Harto sehat, bisa diadili. Nah, malam itu Pak Harto dalam keadaan kritis, tim dokter melapor ke presiden bahwa keadaan Pak Harto sangat kritis.

Sehingga timbul pertanyaan kalau malam ini Pak Harto meninggal, terus besok bagaimana cara memakamkan beliau, kalau statusnya masih tersangka. Sedangkan seorang mantan presiden itu harus dilakukan upacara kenegaraan. Nah, kalau orangnya sudah meninggal, gimana? Kan jadi masalah.

Itu pertama kali saya panggil Abdurrahman Saleh, bawa rapat ke Istana Negara, ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di situ, ada saya, ada Kapolri. Saya bilang kalau bisa status Pak Harto itu dicabut saja karena memang tidak ada harapan Pak Harto akan sembuh kembali.

Sekali itu saja saya bicara sama Abdurrahman Saleh, dia jadi Jaksa Agung, padahal dia anak buah saya. Tapi kan agak beda Surya Paloh dengan Jaksa Agung sekarang. Hehehehe... Dan itu jadi rumor di mana-mana‎, keadaan seperti itu.

Sudah adakah sinergitas antarlembaga hukum sekarang?

Ya sekarang sih‎ sudah lebih tenang, kalau dulu itu nyata sekali terjadi ketegangan antara satu dengan yang lain. Mudah-mudahan harmonis.

Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah agar penegakan hukum efektif?

Sebenarnya itu harus mulai dari presiden, harus punya arah kebijakan penegakan hukum. Di awal-awal kabinet itu dibentuk, presiden harus memanggil seluruh aparat penegak hukum di bawah presiden.

Sesudah itu dia melakukan rapat koordinasi dengan Mahkamah Agung (MA), dengan KPK, kalau itu hanya bisa koordinasi. Tapi kalau ke kepolisian, kejaksaan, presiden kan dapat memerintah mereka.

Jadi harus ada arah kebijakan hukum yang jelas, seperti apa maunya presiden. Presiden harus mem-briefing penyamaan persepsi terhadap norma-norma hukum yang diperlakukan. Sehingga tidak terjadi tafsiran yang berbeda-beda.

Tafsiran yang berbeda-beda itu menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Kalau terjadi ketidakpastian hukum, akan berdampak ke bidang politik, ekonomi. Misalnya begini, kemarin Pak Jokowi memanggil semua aparat penegak hukum, dan menjelaskan bahwa terhadap kebijakan tidak boleh dipidana, delik, tapi presiden harus memberikan satu alasan yang clear.

Delik seperti apa yang tidak bisa dipidana, sehinga persepsi aparat penegak hukum itu sama. Misalnya pengertian keuangan negara itu harus ada persepsi yang sama. Kenyataannya sekarang ada 20 lebih undang-undang, 20 macam definisi tetang keua‎ngan negara. Itu harus diselesaikan baik oleh presiden atau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK‎). Biar MK yang menafsirkan keuangan negara yang bagaimana.

Misalnya begini, negara memisahkan kekayannya terus membuat BUMN. Uang BUMN itu uang negara atau bukan. Ada yayasan, yayasan itu dikasih hibah oleh pemerintah. Misalnya yayasan panti jompo dikasih hibah sama pemerintah atau tiap tahun dikasih bantuan sama BUMN.

Lalu uang yayasan itu uang negara atau bukan? Selama ini kan kacau lalu diangap uang negara, menurut saya sih bukan. Lalu bagaimana uang saya, saya jadi dosen tiap bulan saya digaji pemerintah dikasih tunjangan sama intensif, uangnya kan uang APBN, ketika pemerintah ‎bayar kepada saya uang itu saya pegang tapi saya belanja di pasar uangnya dicopet sama maling, uangnya itu negara atau uang saya.

Menurut saya di clear-kan lebih dulu dan presiden harus punya garis yang jelas. Menurut saya masa Jokowi ini malah makin kacau. Kalau zaman Pak Harto memang kacau karena memang hukum skalanya nomor sekian, anggarannya pun enggak sampai nomor tiga dari bawah.

Memang pada waktu itu prioritas dia pembangunan ekonomi, hukumnya sering dilabrak. Sering anggapan seperti Ibu Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan-red) yang katanya negara ini tengelam karena peraturan. Ibu Susi ngomong baru-baru ini.

Lalu maunya bagaimana dong Ibu Susi, mau ditabrak semua, ya justru anda yang bikin peraturan bikin peraturan yang benar dong. Kaitannya, ini bisa bahaya omongan Ibu Susi, omongan Ahok. Jadi negara adalah saya, kan negara dijalankan bukan pakai hukum negara dijalankan pakai seleranya Ahok seleranya Ibu Susi kacau kalau gitu. Kalau pakai selera kan jadi subjektif.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5488 seconds (0.1#10.140)