Kekuasaan Tidak Boleh Dimonopoli

Rabu, 19 Oktober 2016 - 11:25 WIB
Kekuasaan Tidak Boleh Dimonopoli
Kekuasaan Tidak Boleh Dimonopoli
A A A
PEMILIHAN Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 telah mengantarkan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi orang nomor satu dan dua di negeri ini.

Tidak mudah bagi Jokowi-JK untuk memimpin negeri berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini. Tidak hanya kompleksitas persoalan, keduanya juga harus memenuhi harapan rakyatnya yang memiliki latar belakang dan kepentiangan berbeda-beda. Begitu pun menghadapi berbagai kepentingan yang dibawa oleh partai politik.

Bagaimanakah Jokowi-JK menghadapi tantangan tersebut? Apakah mereka sudah memenuhi harapan rakyat yang dipimpinnya?

Berikut pandangan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengenai dua tahun perjalanan Pemerintah Jokowi-JK.

Bagaimana pandangan Anda tentang perjalanan Pemerintah Jokowi-JK selama dua tahun?

Satu sisi kepemimpinan Jokowi-JK terkesan egalitarianisme. Posisi dan jabatan seperti menteri dan pimpinan lembaga sudah tidak sakral lagi. Para menteri-menterinya juga tidak power culture atau tidak menggunakan kekuasaan secara berlebihan.

Itu mungkin alasan anggota kabinet mengenakan kemeja putih agar lebih terlihat sederhana. Itu hal positif, bagaimana mencairkan suasana kabinet yang tidak power culture dan memiliki motivasi untuk membenahi internal birokrasi dan memiliki perspektif tinggi terhadap pembangunan.

Lalu bagaimana kinerja pemerintah, apakah kira-kira sudah sesuai keinginan Jokowi?


Terhadap eksekusi-eksekusi program milik Presiden, muncul pernyataan dari Jokowi semua menteri itu menjalankan tupoksi (tugas pokok fungsi) presiden dan programnya presiden.

Apabila ada menteri yang tidak memiliki performance yang bagus dalam menjalankan program presiden, berarti ada yang salah. Semua konsep atau prinsip-prinsip yang dibuat pemerintah sangat mempertaruhkan kredibilitas Jokowi-JK sebagai pemimpin.

Sebagai pemimpin, leadership keduanya dirasakan secara luas oleh masyarakat indonesia dari Sabang sampai Merauke. Apa yang dirasakan dua tahun ini memang beban-beban yang khususnya berkaitan dengan ekonomi.

Beban-beban itu dirasakan, khususnya bagi masyarakat yang kurang beruntung, kalangan menengah ke bawah cenderung mengatakan kesuilitan untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Beban masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar semakin berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang membumbung tinggi seperti beras, gula, garam bawang merah, cabai merah. Presiden juga dianggap belum bisa langsung menjawab kesulitan yang dialami masyarakat.

Jadi, selama dua tahun Jokowi-JK belum memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat?

Betul. Itu yang pertama masalah ekonomi. Kedua, tak kalah penting adalah penegakan hukum. Penegakan hukum tentu berkaitan langsung dengan keadilan. Ini yang dirasakan secara luas, seolah-olah hukum tidak hadir di indonesia.

Persoalan politik sangat kental dan dominan hadir di Indonesia sehingga hampir terjadi politisasi di semua kehidupan. Namun ketika berbicara penegakan hukum, terlihat sekali penegakan hukum sangat berkurang.

Apakah kondisi itu akibat ambisi pemerintah yang mengedepankan pembangunan infrastruktur?


Membangun secara fisik, konstruksi, infrastruktur, jalan, sarana prasarana itu juga penting. Tapi apa artinya pembangunan jika melupakan, membangun subtansi dari penduduknya, yakni sumber daya manusia (SDM).

Membangun SDM Indonesia, baik yang ada di birokrasi maupun di masyarakat luas jauh lebih penting. Ini amanat dari kemerdekaan kita. Amanat dari kemerdekaan kita jelas tertuang preambul atau pembukaan Kontitusi kita, kepentingan nasional kita adalah mencerdaskan masyarakat dan menyejahterahkan masyarakat.

Jadi ending-nya di sana. Membangun itu apanya? Subtansinya, kecerdasannya dibangun, jadikan masyarakat yang berilmu pengetahuan.

Semua kebijakan juga didasarkan pada knowledge sehingga betul-betul dirasakan, tidak sekadar pembangunan fisik yang dilihat nyata, konkret. Kalau kita tengok, character building atau pembangunan karakter belum selesai. Ini yang harus dituntaskan secara bertahap.

Dari rezim ke rezim message-nya membangun karakter bangsa. Jadi ini yang disebut oleh Trisakti, prinsipnya adalah kemandirian. Kemandirian itu nantinya berpengaruhi terhadap kekuatan kita sebagai bangsa.

Bagaimana bisa menjelaskan pemerintah serius terhadap penegakan hukum jika pada tiga bulan pertama Jokowi-JK, kita melihat ada lembaga penegakan hukum dan pemberantas korupsi berseteru dalam waktu yang sangat lama sampai tiga bulan lebih.

Setelah itu kita juga tidak menyaksikan kesungguhan menegakkan hukum dengan catatan tidak hanya runcing ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum harus runcing ke duanya.

Apakah Anda melihat ada perbaikan kinerja Jokowi-JK pada tahun kedua pemerintahan?


Ada obsesi untuk membangun negara ini luar biasa melalui visi misi program yang disampaikan dalam program Nawacita. Hal Itu menunjukkan ada obsesi besar yang hendak diimplementasikan.

Tapi ternyata Indonesia sedang tidak beruntung secara ekonomi. Bagaimana negara ini membangun dengan dana cukup, sementara APBN defisit. Apakah defisit itu ditengarai ada dari luar, internasional, global ekonomi dan sebagainya tapi domestik kita sedang tidak beruntung.

Ketika ekonomi tidak terlalu beruntung, apa yang bisa dihadirkan (ditunjukan)? Penegakan hukum dan politik. Padahal pemerintah harus sungguh-sungguh membangun kualitas hukum plus kualitas demokrasi agar ada keadaban dalam rangka kita menjalani kehidupan day to day politik kita, demokrasi kita.

Apalagi di Indonesia, hampir tiap tahun itu tahun politik. Pada 2015 lalu tahun politik daerah melalui pilkada serentak. Kemudian tahun politik lagi pada 2017, nanti termasuk Pilgub DKI Jakarta. Tapi pemanasan (politiknya) jauh sebelum 2017.

Indonesia akan terus menjalani tahun politik. Nanti akan ada pilkada serentak pada 2018 di banyak daerah, lalu pada 2019 akan melaksanakan pemilu nasional. Kapan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mampu bekerja serius jika energinya terus menerus diforsir untuk memikirkan perhelatan politik

Apakah itu stabilitas politik akan terganggu? Bukankan pemerintah sangat diuntungkan dengan modal dukungan dari mayoritas parpol?


Tambahan dukungan parpol kepada Jokowi membuat situasi politik tidak hiruk-pikuk, DPR juga tidak gaduh. Apakah itu merupakan cermin daripada sistem presidensil kita yang ditopang oleh mekanisme check and balances, saling imbang, saling kontrol antara eksekutif dan legislatif?

Kalau tidak, berarti check and balances absen di tengah menguatnya sistem presidensil, dan itu tidak bagus karena legislatif dan eksekutif tidak saling empowering, saling memperkuat.

Kecenderungannya bisa eksekutif heavy (kuat) karena legislatifnya sedang tidak heavy. Jadi very kontekstual itu juga tidak bagus karena bagaimanapun juga dalam teori demokrasi senantiasa bahwa kekuasaan itu tidak boleh dimonopoli.

Kekuasaan harus menghadirkan saling kontrol antarinstitusi supaya bisa terukur dan bisa dipertanggungjawabkan, transparan, tidak dimonopoli, mendominasi satu kekuasaan. Itulah kemewahan dari demokrasi kita.

Dalam sistem otoritarian tidak memungkinkan check and balances karena memang parlemennya dikalahkan oleh eksekutif.

Banyak kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan mengundang polemik. Semisal langkah Jokowi mengangkat Arcandra Tahar menjadi Menteri ESDM dan kemudian membatalkannya. Bagaimana pendapat Anda?


Rekrutmen seorang pembantu presiden menjadi hak prerogratif. Sebenarnya masyarakat tidak mempertanyakan hak prerogatif presiden.

Menjadi masalah bagi masyarakat ketika presiden luput, alpa merekrut seorang menteri yang punya kewarganegaraan ganda. Itu baru dalam sejarahnya selama dalam republik ini berdiri, ada kesalahan seperti itu.

Ini tentunya mempertanyakan profesionalitas, bagaimana tim kepresidenan, Sekretariat Negara, Sekreatarit Kabinet dalam menentukan para pembantu presiden, itu yang tidak boleh gegabah, tidak boleh tidak teliti.

Bagaimana dengan demokratisasi yang dilakukan pemerintah saat ini?


Dalam Nawacita, poin ketiga atau kedua, mengeksplisitkan tentang pembangunan demokrasi. Tentu pembangunan demokrasi itu melalui partai politik.

Pemerintah dalam hal ini perlu mendorong agar nilai-nilai demokrasi dilembagakan, baik melalui parpol maupun pilar-pilar utama seperti DPR, pemilu, pilkada. Itu pilar-pilar dari demokrasi. Mendorong bukan berarti berarti mengintervensi, jadi harus dibedakan.

Untuk membangun demokrasi, berarti harus membangun pilar-pilar, mendorong agar pembangunan terjadi di pilar-pilarnya. Bukan berarti mengintervensi. Kalau intervensi, maknanya seperti apa yang dilakukan Orde Baru, yakni mengkerdilkan, membonsai partai lalu memperkuat posisi presiden.

Apakah Jokowi-JK gagal membangun demokrasi?


Saya melihat kecenderungan ada friksi partai yang bertele-tele. Bahkan itu konflik dialami Partai Golkar. Konflik itu berakhir dengan keputusan Golkar mendukung Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019.

Apalagi Pak Jokowi bukan kader (Golkar)? Jadi ini menurut saya politisasi. Politisasi dengan pendekatan kekuasaan. Itu jangan dibangun. Jadi Pak Jokowi harus konsisten dengan Nawacita dan Trisaktinya itu.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.0869 seconds (0.1#10.140)