Gafatar, Ajaran Menyimpang, dan Terorisme

Jum'at, 05 Februari 2016 - 17:50 WIB
Gafatar, Ajaran Menyimpang, dan Terorisme
Gafatar, Ajaran Menyimpang, dan Terorisme
A A A
SAMSUL HADI
Satgas Subdit Kewaspadaan, Direktorat Pencegahan, Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) secara resmi telah mengeluarkan fatwa sesat dan menyesatkan kepada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Resmi didirikan di Jakarta pada 14 Agustus 2014, Gafatar dengan cepat mampu menyebar dan berkembang. Sebelum akhirnya ”terbongkar” dan mengaku sudah membubarkan diri sejak 2015 lalu, Gafatar sedikitnya sudah berhasil merekrut lebih dari lima ribu orang masuk ke dalam kelompoknya.

Untuk bisa merebut simpati masyarakat, mereka menggunakan kegiatan-kegiatan sosial sebagai bingkai, seperti kerja bakti, pengobatan dan bimbingan belajar gratis, serta pembagian bingkisan.

Ditengok ke belakang sejarah berdirinya Gafatar, terdapat sosok kontroversi Ahmad Musadeq. Kita tentu masih ingat pada tahun 2006 Ahmad Musadeq melalui al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikannya, menyebut diri sebagai nabi. Meski publik juga mengetahui pada akhirnya Ahmad Musadeq mengaku bersalah, tobat, dan menjalani hukuman atas penistaan agama yang dilakukannya, itu tidak menghentikannya untuk kembali bertindak menyimpang. Gafatar merupakan metamorfosa dari Komunitas Millah Abraham (Komar) yang juga dimotori oleh Ahmad Musadeq, setelah al-Qiyadah al-Islamiyah resmi dilarang oleh pemerintah.

Gafatar beranggapan Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena pemerintahan dijalankan tidak sesuai syariat Islam. Gafatar menawarkan diri sebagai wadah yang tepat untuk bersama-sama melakukan pembenahan kondisi Indonesia, dan ini diterima dengan sangat baik oleh kalangan muda terdidik.

Terbongkarnya kedok Gafatar bermula dari kabar hilangnya Rika Tri Handayani, seorang dokter muda di Yogyakarta bersama dengan anaknya yang masih balita. Bersamaan dengan kabar hilangnya Dokter Rika, berita seputar orang hilang ramai menghiasi media massa lokal dan nasional, yang keseluruhannya kemudian berujung pada dugaan mereka bergabung dengan Gafatar.

Sebuah catatan menarik muncul, yaitu sebagian besar mereka yang dinyatakan hilang -yang pada akhirnya ditemukan dan dipulangkan- adalah individu-individu dengan pendidikan tinggi. Gafatar telah mampu mengemas ”tawaran menyimpangnya” dengan rapi, sehingga kelompok terdidik pun terpikat untuk bergabung.

Ajaran Menyimpang
Dalam fatwa sesat yang menyesatkan yang dikeluarkannya, MUI menemukan adanya pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan beragama yang benar pada diri Gafatar. Antara lain kepercayaan sosok Ahmad Musadeq adalah pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa setelah Nabi Muhammad SAW. Gafatar juga menggabungkan ajaran tiga agama sekaligus, yaitu Islam, Nasrani, dan Yahudi, dengan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran tidak sesuai dengan kaidah tafsir. Yang ironis, sebagai kelompok yang mengakui adanya juru selamat, Gafatar faktanya mengingkari perintah ibadah, seperti meniadakan kewajiban salat lima waktu, puasa Ramadan, dan haji bagi para pengikutnya.

Oleh MUI, Gafatar yang mayoritas pengikutnya adalah pemeluk Islam, di antaranya dianggap mengesampingkan QS Al-Ahzab [33]:40, yang artinya ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. Pilihan Gafatar menggabungkan ajaran Islam, Nasrani, dan Yahudi, dianggap bertentangan dengan ayat ”Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batthil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui” .(QS. Al-Baqarah [2]:42).

Tidak hanya dalam ajaran agama Gafatar dianggap menyimpang. Keyakinan jika Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena dijalankan tidak dengan syariat Allah SWT adalah bukti penyimpangan. Tidak perlu diperdebatkan lagi jika Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara yang didirikan dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, dengan beberapa agama diakui keberadaannya.

Ancaman Terorisme
Dengan segala penyimpangan yang diajarkannya, apakah Gafatar sudah bisa dikategorikan pelaku terorisme? Sementara hingga kedoknya terbongkar belum ada satu pun data yang menunjukkan Gafatar berafiliasi dengan perorangan atau kelompok tertentu yang sudah teridentifikasi sebagai terduga pelaku, tersangka, atau bahkan terpidana kejahatan terorisme.

Namun harus diingat, salah satu dasar kejahatan terorisme adalah radikalisme, dan Gafatar sudah memenuhi dugaan tersebut. Ajarannya dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah terbukti radikal.

Jika ditarik ke belakang, pola rekrutmen pengikut Gafatar juga bisa diklasifikasikan sebagai bentuk terorisme. Munculnya keresahan di tengah masyarakat atas berbagai kasus orang hilang, yang di kemudian hari didapati bergabung dengan Gafatar, adalah bentuk teror.

Gafatar memang belum menunjukkan aksi terorisme seperti pada umumnya yang terjadi di Indonesia, yaitu melalui serangan terbuka dan peledakan bom di titik-titik strategis tertentu. Tapi jika dilihat pada keyakinannya bahwa Indonesia belum negara merdeka dan Gafatar ingin memerdekakan, adalah bentuk lain dari sikap makar. Itu berarti Gafatar memiliki kesamaan visi, misi, dan tujuan dengan terduga pelaku, tersangka, maupun terpidana kejahatan terorisme, yaitu menggulingkan pemerintahan yang sah dan mendirikan negara baru.

Saat ini Gafatar sudah ”dibubarkan” seiring dengan dipulangkannya para pengikut yang sebelumnya ditampung di Kalimantan ke daerah asalnya masing-masing. Tapi bukan berarti tugas mengatasi Gafatar berakhir. Tugas lebih berat sudah menunggu di depan mata, yaitu deradikalisasi para pendiri dan pengikut Gafatar, terutama balita dan anak-anak usia sekolah. Kita juga dituntut untuk selalu meningkatkan kewaspadaan secara bersama-sama di tengah masyarakat, mengantisipasi kemunculan kelompok serupa di masa mendatang.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3181 seconds (0.1#10.140)