Ketegasan soal Freeport

Rabu, 20 Januari 2016 - 10:47 WIB
Ketegasan soal Freeport
Ketegasan soal Freeport
A A A
ISU Freeport sepertinya memang tidak akan berkesudahan. Bukan tidak mungkin hingga 2021, yaitu masa berakhirnya kontrak karya kedua Freeport, keramaian akan selalu terjadi. Kalau keramaian sebelumnya saja hingga melibatkan beberapa pejabat tinggi negara serta nama-nama sohor di negeri ini, bukan tidak mungkin keramaian-keramaian yang lebih besar akan menghampiri kita.

Lihat saja, saat 10,64% saham PT Freeport Indonesia ditawarkan oleh induknya di Negeri Paman Sam, Freeport McMoRan, seharga Rp23 triliun (USD1,7 miliar), hal itu langsung menciptakan keriuhan. Dari segi harga, umumnya berbagai pihak berteriak saham ini kemahalan. Terlebih jika merujuk pada kapitalisasi pasar (market capitalization) dari sang induk Freeport McMoRan yang terdaftar di bursa di Amerika Serikat (AS) yang belakangan ini terjerembab di kisaran USD4 miliar-6 miliar. Tidak salah juga jika banyak yang menyarankan kalau memang ingin keluar uang, sekaligus saja beli induknya. Memang tentu tidak semudah itu mengakuisisi perusahaan yang terdaftar di bursa.

Terlepas dari harga, masih ada perdebatan serius mengenai diperpanjang atau tidaknya kontrak karya PT Freeport Indonesia. Pilihan yang diambil ini akan sangat berkaitan erat dengan langkah yang harus diambil terkait divestasi. Misalnya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno saat ini ada pada posisi serba sulit. Jika membeli saham divestasi, tetapi kontrak tidak diperpan jang tentu kita akan rugi besar. Adapun jika tidak mengambil saham divestasi sementara pada akhirnya kontrak diperpanjang, pemerintah akan dituding tidak bisa memaksimalkan keuntungan dari tambang emas dan tembaga di Papua tersebut.

Memang dalam perjanjian kontrak karya disebutkan akan ada pembicaraan mengenai perpanjangan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yaitu pada 2019. Namun alangkah lebih baik jika pemerintah secepatnya mengutarakan posisinya. Ada beberapa hal yang akan diminimalisasi dan dihindarkan jika pemerintah bisa secepatnya memberikan ketegasan tentang masalah Freeport ini.

Pertama, keributan di kabinet akan bisa diredam. Saat ini ada keterbelahan yang cukup kentara mengenai kelanjutan nasib Freeport ini. Tentunya kita tidak ingin kabinet selalu terbelah, apalagi dalam masalah yang cukup strategis seperti ini. Ketegasan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), diharapkan bisa meredam ketegangan.

Kedua, keluwesan BUMN untuk bergerak. Seperti yang sudah diumumkan, kalaupun divestasi tahap kedua sebesar 10,64% saham Freeport, yang akan melaksanakannya adalah BUMN. Dalam hal ini PT Aneka Tambang -BUMN tambang negeri ini yang memiliki kesamaan sektor usaha dengan PT Freeport Indonesia- yang akan mengambil peran. Dengan banderol harga Rp23 triliun (USD1,7 miliar) yang ditawarkan oleh Freeport McMoRan, induk dari PT Freeport Indonesia, tentu akan menjadi langkah akuisisi saham yang luar biasa bagi sindikasi BUMN tambang di negeri ini. Skenario wait and see yang akhirnya harus dijalankan akibat pemerintah masih terkesan mencla-mencle menyulitkan BUMN.

Ketiga, menutup pintu para pencari rente untuk mengambil kesempatan dalam keruhnya masalah divestasi dan kemungkinan tidak diperpanjangnya kontrak karya PT Freeport Indonesia. Jika sejak dini pemerintahan Jokowi-JK sudah memberikan pandangan yang tegas mengenai nasib PT Freeport Indonesia, hal itu akan mempersempit ruang gerak para pencari rente.

Keempat, menekan keributan yang tidak penting di kalangan rakyat. Bisa kita lihat sentimen dalam kasus ini sangat besar. Bahkan nasionalisme menjadi kosakata yang kian sering didengungkan. Tentunya kita tidak ingin akhirnya keterbelahan pendapat itu meruncing di masyarakat.

Keramaian dalam masalah Freeport ini harus menjadi titik penjuru bagi pemerintah untuk lebih yakin menguatkan kendalinya atas dunia pertambangan. Terlebih saat ini UU Minerba No 4 Tahun 2009 sudah tidak lagi menganut sistem kontrak karya, melainkan rezim izin usaha pertambangan (IUP). Pada konsep ini pemerintah jelas memiliki kuasa dan kontrol yang lebih baik terhadap para pemilik IUP, jauh berbeda dengan hubungan pemerintah dengan para pemilik kontrak karya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8414 seconds (0.1#10.140)