Teror di Paris dan Kewaspadaan Indonesia

Rabu, 25 November 2015 - 07:29 WIB
Teror di Paris dan Kewaspadaan Indonesia
Teror di Paris dan Kewaspadaan Indonesia
A A A
SERANGAN teroris di Paris pada 13 November 2015 menewaskan sekitar 150 orang dan melukai ratusan lainnya adalah tragedi kemanusiaan terbaru yang dikutuk umat sejagat. Aksi teroris terburuk sepanjang sejarah Prancis itu menyampaikan pesan bahwa dunia dan kita masih jauh dari rasa aman dan kelompok teror masih eksis mengancam di mana- mana.

Serangan tersebut sebuah wake up call dan warning bahwa teror dan tragedi tetap bisa terjadi di mana- mana. Bisa di Asia, di Timur Tengah, maupun di Eropa dan Amerika. Bisa terjadi di negara under-developed, developing, maupun developed, jika kita ingin menggunakan tiga kelompok dunia itu. Tidak lama setelah tragedi Paris, bahkan Mali muncul menjadi pusat tangisan dunia. Tanggal 20 November lalu, 140 tamu dan 30 pegawai Hotel Radisson disandera, 27 orang terbunuh. Dunia pun kaget, berduka, dan mengecam.

ISIS mengaku sebagai pelaku serangan di Paris. ISIS bahkan menebar ancaman untuk melakukan serangan baru di banyak target strategis lainnya di berbagai negara di dunia. Dunia saat ini betul-betul terancam. Hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, harus meningkatkan kewaspadaan. Tercatat, pelaku teror di dunia memang tidak hanya ISIS. Berbagai kelompok radikal lainnya yang menggunakan bendera tertentu dan atas nama umat beragama tertentu dengan motif tertentu pula, baik Islam maupun non-Islam, melakukan tindakan teror serupa.

Sejak beberapa waktu belakangan, ISIS memang menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Serangan-serangannya, sekaligus aneka “pesonanya”, membuat banyak orang bertanya- tanya. Ada apa dengan ISIS, kelompok militan radikal itu. Kenapa ISIS memiliki daya magnetik yang begitu memikat banyak orang, terutama kaum muda. Buktinya, pelaku penyerangan di Paris adalah anak-anak muda. Dan, yang lebih menarik lagi, kenapa negara-negara kuat dan maju sampai saat ini seakan tidak berdaya terhadap ISIS. Di Indonesia terbukti banyak yang bersimpati dan bahkan sekitar 500 bergabung dengan ISIS. Angka yang sebenarnya bisa jadi lebih dari itu.

Sejarah yang Hilang

Radikalisme adalah salah satu elemen yang mendorong terjadi teror yang berujung pada ketakutan, konflik, dan korban manusia. Ternyata radikalisme itu kini kian berkembang di berbagai negara yang membuat banyak kalangan khawatir sehingga muncul gerakan antiradikalisme secara terpadu.

Di Indonesia radikalisme menjadi salah satu isu sentral yang diperbincangkan di banyak forum dan diskusi karena berpotensi tumbuh subur yang kemudian bisa menjadi ancaman Negara Kesatuan Republik Indonesia. Radikalisme di kalangan pemuda Indonesia, disebut Gabrielle Marranci (2009), sebagai act of identity akibat dari perubahan drastis yang terjadi dalam situasi politik menuju demokrasi. Dengan melakukan aksi identitas sebagai mekanisme koreksi diri, sang pemuda dapat merasakan “biografi diri”-nya kembali berarti.

Tentu menarik dikaji, kenapa radikalisme itu muncul dan berkembang di berbagai kawasan dunia. Perkembangannya bahkan terlihat begitu cepat dan merata. Mircea Eliade (2002) mengatakan bahwa kebangkitan kelompok radikal sangat berkeinginan mengulang zaman keemasan masa lalu sebagai bagian dari “sejarah yang hilang.” Jadi, di sini terlihat bahwa kejayaan masa lalu merupakan suatu kebanggaan yang pada hakikatnya ingin mereka pertahankan. Untuk mengembalikan kejayaan masa lalu itulah, sejumlah kelompok berjuang dengan melakukan berbagai cara dan segala upaya, termasuk dengan menebar paham dan melegalkan perilaku teror.

Pemuda adalah kelompok usia yang perlu diwaspadai dalam penyebaran paham radikal dan terorisme. Pemuda bahkan kelompok yang mudah direkrut untuk melakukan aksi-aksi teror. Lihat serangan menara WTC pada 11 September 2001, pelakunya tergolong muda. Serangan di Paris juga dilakukan oleh anak-anak muda. Kenapa anak-anak muda? Fase transisi yang dialami pemuda rentan akan krisis identitas. Mereka mengalami ketidakpastian, yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal (Quintan Wiktorowicz, 2005). Selain itu, faktor ekonomi dan jejaring sosial juga turut berkontribusi dalam menyeret pemuda ke dalam lingkaran radikal.

Indonesia Waspada

Indonesia mempunyai catatan sejarah panjang dalam menangani radikalisme dan serangan teroris, baik yang terjadi di Bali, Jakarta, maupun beberapa tempat lainnya. Kenyataannya, Indonesia bukanlah negara tempat munculnya radikalisme atau inspirator terorisme. Kalau kita mau jujur, Indonesia sebetulnya tidak lebih dari transit point dan breeding ground gerakan radikalisme dan terorisme yang berasal dari berbagai negara. Apalagi, Indonesia dinilai berpotensi untuk fungsi-fungsi itu. Jika ada serangan-serangan teroris terjadi di Indonesia pada waktu- waktu lalu, itu sesungguhnya merupakan peringatan terhadap pemerintah untuk memperhatikan kepentingan kelompok mereka sekaligus merupakan pesan penting yang disampaikan kepada negara-negara tertentu di dunia.

Untuk menangkal radikalisme dan terorisme, serta mengantisipasi serangan Paris dan Mali tidak terjadi di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih konkret agar gerakan radikalisme tidak berkembang, terutama di kalangan para pemuda bangsa kita. Memang, untuk mengatasi itu tidak mudah, terutama karena Indonesia negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai pluralisme. Di tengah keberagaman agama, ras, dan etnisitas, kita bersatu di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika.

Etika dan toleransi adalah substansi dari pluralisme. Karena itu, bangsa Indonesia harus meningkatkan komitmennya. Pertama , menegaskan heterogenitas dan keanekaragaman sebagai social fact. Sikap inklusif, atau keberadaan yang lain, patut dijadikan morale recipient, sedangkan sikap eksklusif terbatas pada diri dan kelompok sendiri. Kedua, menolak cara berpikir yang absolutisme, pikiran yang mengandung faedah ada pengakuan yang satu, yang menyangkut akan kebenaran, pemahaman, pemikiran, dan penafsiran. Sementara yang lain disangkalkan keberadaannya dan harus lebur pada kebenaran, hakikat, dan validitas yang ada pada dirinya.

Ketiga, menerima cara berpikir relativisme. Paham yang tidak semata-mata mengakui kedirian lain, namun turut berusaha memahami bahkan lebih jauh lagi menerima kedirian lainnya. Keempat , membuka ruang komunikasi intensif antarsesama. Di balik perbedaan yang ada, melalui komunikasi intensif adalah salah satu etika yang intrinsik dan sarana dalam meningkatkan manusia dan kemanusiaannya.

Apabila bangsa Indonesia memegang teguh dan mengamalkan prinsip-prinsip tersebut dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, niscaya paham radikal, teror, dan sentimen-sentimen negatif akan bebas dari Indonesia. Setidaknya, potensi dan dampak teror Paris bisa dikesampingkan.

*Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email opini.sindo@mncgroup.com. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru,
serta nomor rekening.

Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3233 seconds (0.1#10.140)