Wajah Hantu Birokrasi Kita

Senin, 23 November 2015 - 09:06 WIB
Wajah Hantu Birokrasi Kita
Wajah Hantu Birokrasi Kita
A A A
BIROKRASI itu konsep yang sarat dengan nilai-nilai. Dia bergerak dinamis, dan hampir tak terasa sudah jauh melampaui batas-batas fungsi pokoknya: mengatur berbagai urusan secara rasional, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu. Bila birokrasi harus melayani, dia melayani dengan cepat, cekatan, dan profesional. Di dalam birokrasi sebetulnya tidak boleh ada pamrih pribadi, tidak ada nilai-nilai lain kecuali rasionalitas dan sikap profesional tadi.

Birokrasi yang baik senantiasa menampilkan -biarpun tak kelihatan- citra sebuah integritas yang memesona. Mungkin hal itu cerminan integritas kelembagaan, yang dibangun dengan kerja keras, sungguh-sungguh dan konsisten selama beberapa tahun. Mungkin pula hal itu merupakan integritas pribadi pemimpinnya. Salah satu, atau dua-duanya, menentukan wibawa birokrasi tadi.

Tapi diam-diam, gerak dinamis yang jauh melampaui batas-batas fungsi pokoknya tadi telah membuat birokrasi menyimpang. Seperti tak kita sadari, birokrasi telah tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ada tangan yang tak tampak, yang telah menggerakkannya ke sana kemari seperti wayang di layar lebar yang digerakkan ki dalang.

Di dalam birokrasi yang telah tidak menjadi dirinya sendiri itu hadir -secara tersembunyi- begitu banyak kepentingan. Di tingkat atas, berbagai kepentingan itu hadir secara terbuka. Perlu dicatat di sini bahwa rupanya, bagi para birokrat, kekuasaan merupakan aset besar.

Ya, jabatan itu jelas sebuah aset besar. Tiap jenis dan tingkatan jabatan diberi makna tersendiri. Di kalangan sesama sopir di dalam suatu kantor pemerintah, sopir menteri merasa lebih berkuasa daripada sopir-sopir yang lain karena dia memiliki relasi dan ”cantelan” di atas. Pemaknaan seperti ini dianggap sebagai suatu kebenaran umum. Di tingkat bawah pun jabatan dikapitalisasi bukan untuk kepentingan birokrasi itu sendiri, melainkan untuk dirinya sendiri. Apalagi makna jabatan.

Tak mengherankan orang mati-matian mempertahankannya. Segala cara, segala kemungkinan, termasuk dengan jalan ”belakang”, dan diam-diam menggunakan jampi-jampi dan pengaruh gaib, ditempuh. Orang dibuat sakit supaya tak berfungi, untuk kemudian diganti. Banyak cara mempertahankan kekuasaan yang korup di dalam birokrasi yang telah tidak menjadi dirinya sendiri tadi. Birokrasi telah jauh menyimpang.

Dia bergerak untuk memenuhi kepentingan tangan yang tak tampak tadi. Itulah tangan para centeng di birokrasi. Centeng tak harus berwajah seram seperti Abang Jampang, tetapi tak jarang berwajah lembut seperti Arjuna. Dengan kata lain, mungkin birokrasi identik dengan organisasi bawah tanah milik para centeng. Di sana kata ”rakyat”, ”publik” dan ”umum” lenyap, Tapi jangan salah, kata ”centeng itu sendiri pun tak ada di sana. Centeng ada di mana-mana, tapi selalu tersembunyi secara rapi.

Birokrasi kita merupakan sebuah penyimpangan. Wajahnya seperti hantu yang menakutkan. Kita takut pada hantu ini bukan hanya pada malam hari. Di siang hari, di tengah orang banyak pun kita merasa takut. Penyimpangan secara terbuka dan blak-blakan itu dimulai di berbagai pusat kekuasaan, di kota-kota besar. Apa yang disebut orang ”pusat” dan petunjuk dari ”pusat” itu bagi orang ”daerah” terasa sebagai teladan suci. Padahal itu hanya teladan centeng. Di hadapan orang ”pusat” orang ”daerah” selalu membungkuk takzim.

Para penguasa, yang mengendalikan kekuasaan, merasa bahwa kekuasaan itu milik pribadi. Komitmen politik berubah menjadi komitmen pribadi. Orang tak bisa lagi memisahkan apa yang merupakan wilayah privat dan wilayah publik. Semua urusan berkisar di sekitar urusan pribadi.

Seorang pegawai yang merasa sudah tiba saatnya naik pangkat, hak itu tak pernah datang kepadanya. Dia harus mengurusnya secara berbelit-belit. Lembaran demi lembaran, berikut lampiran-lampiran yang tak pernah diperhatikan pihak personalia, harus disajikan selengkap-lengkapnya. Tapi selengkap apa pun lembaran-lembaran itu tak akan pernah dianggap lengkap sebelum kita membayar pejabat personalia yang akan dapat menentukan nasib kita.

Tak jarang orang harus membayar semua pejabat di dalam suatu ruangan yang memancarkan bau itu. Di ruangan itu, penyimpangan sudah menjadi praktik harian, rutin, dan mapan selama bertahun-tahun. Ibarat mesin, tatanan birokrasi itu sudah karatan. Diperlukan suatu tenaga raksasa untuk mendorongnya, sampai semua karatan itu rontok perlahan-lahan. Tapi hampir tidak ada kekuatan yang bisa merontokkannya.

Seorang calon pegawai, yang sudah lulus menempuh berbagai ujian, belum dengan sendirinya dinyatakan sebagai pegawai sebelum membayar para centeng berseragam rapi, yang bisa menentukan nasib calon pegawai tersebut. Jumlah bayaran yang diminta tak jarang tinggi sekali. Centeng- centeng ini yang membuat mesin birokrasi karatan. Mereka yang menghambat agar birokrasi tak berdaya mewujudkan citacita besar dan segenap misi sucinya.

***

Kita boleh mengutuk dan mengucapkan sumpah serapah, tapi centeng birokrasi tak peduli. Dia bisa ketawa-ketawa menyakitkan hati kita tanpa pernah berubah. Dia seperti robot tanpa jiwa. Hatinya sudah membeku. Ibarat kata dia, sudah bisu sekaligus tuli dan buta terhadap kebenaran dan keadilan. Di depan hidungnya, jangan kita bicara kebenaran dan keadilan. Dia akan tertawa-tawa menyakitkan hati kita, sambal mengejek:

”Kebenaran? Carilah di rumah- rumah para rohaniwan kalau hal itu ada. Dan keadilan? Kau cari sendiri di pengadilan sana. Niscaya keadilan tak bakal kau temukan. Kau tahu, hakim lebih suka bicara konkret, dan jelas, tentang uang dan nilai rupiah yang diterimanya sebagai imbalan membebaskan seorang 'bajingan' yang merusak kehidupan? Hi hi hi...” Dia tertawa cekikikan seperti hantu dalam gelap. Suaranya melengking seperti datang dari dalam kuburan.

Dan kemudian, dengan mata membelalak, seolah menantang seluruh dunia dia berkata: Kebenaran itu di sini, di mejaku ini letaknya. Dan keadilan? Kau kira keadilan itu bukan sekedar konsep? Kau tahu, keadilan itu hanya kata-kata. Dan kata-kata belaka. Hi hi hi...

Tapi di sini, di mejaku ini, atau lebih tepat di ruangan ini, keadilan sejati bakal kau temukan. Syaratnya, kau harus membayar. Urusan kecil bayarnya kecil. Urusan besar bayarannya besar. Dan akulah yang menentukan besar kecilnya suatu urusan, dan tinggi rendahnya pembayaran.

Aku tidak pernah meminta, apalagi memaksa. Mereka yang selalu datang kemari dengan sukarela untuk membuat perhitungan-perhitungan tadi. Dengan penuh kesabaran, aku mendengar aspirasi mereka. Dan baru kemudian, aku berkata bahwa setiap kasus sudah ada tarifnya. Berdasarkan tarif itu bayaran ditentukan. Hi hi hi. Bukankah itu keadilan yang seadil-adilnya. Suara hi hi hi-nya itu begitu menakutkan. Kita baru sadar bahwa manusia jenis itu ternyata ada, betul-betul ada.

Seorang pejabat baru yang masih segar dan idealis, atau bagi siapa saja yang berusaha mengubahnya niscaya mereka akan berhadapan dengan tangan yang tak tampak, yang kekuasaan tak bisa kita duga. Tangan yang tak tampak itu ada di mana-mana.

Di birokrasi, barang siapa mencoba bersifat lugas, apa adanya dan tak mau memenuhi aturan bayar membayar yang menyimpang itu, dia tak akan survive. Kecuali banyak musuhnya, dia akan dicemooh sok idealis, sok suci, dan urusannya tak akan pernah mudah sebagaimana seharusnya. Untuk orang seperti itu, birokrasi berkata: ”Kalau suatu urusan bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”

”Sudah kubilang, urusan kecil bayarnya juga kecil. Apa beratnya membayar begitu kecil? ”Hihihi...” suaranya menyelinap ke mana-mana. Kamar kerjanya memancarkan hawa dingin yang menakutkan. Ini bukan sekedar dinginnya AC, tapi dingin dari kegelapan jiwa yang merasa serba berkuasa itu.

Birokrasi Indonesia penuh centeng yang serakah. Secara nasional, birokrasi mirip berpuluh-puluh gerbong kereta api yang besi-besinya, sekrup dan sambungan- sambungannya, bahkan semua rodanya, sudah karatan. Ini hasil pekerjaan para centeng tadi. Centeng-centeng dan semua jenis hantu yang begitu menakutkan di dalam birokrasi kita usir. Gelombang perubahan besar kali ini memerlukan orang dengan tipe Gatotkaca, yang sakti, untuk menggebraknya. Rakyat menantikan pahlawan tak terkalahkan itu agar cita-cita membangun masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi itu bisa diwujudkan di dalam hidup sehari-hari.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4747 seconds (0.1#10.140)