Siapa Menjadi Korban?

Jum'at, 13 November 2015 - 06:49 WIB
Siapa Menjadi Korban?
Siapa Menjadi Korban?
A A A
BEBERAPA hari belakangan Indonesia diusik dengan dihelatnya apa yang disebut ”International Peoples Tribunal 1965” (IPT 1965). Peradilan yang digelar di Den Haag Belanda tersebut memicu kontroversi karena bertendensi memaksa Indonesia mengakui kesalahannya atas peristiwa yang terjadi pada 1965 silam. Tak tanggung-tanggung, IPT menjadikan Republik Indonesia sebagai terdakwa kasus pembunuhan massal dan perbudakan.

Langkah yang diinisiasi sejumlah aktivis HAM, seperti Todung Mulya Lubis dan Nursjahbani Katjasungkana, menginternasionalisasi konflik politik domestik yang pernah menjadi catatan terkelam dalam sejarah perjalanan bangsa pascakemerdekaan tersebut, merupakan tindak lanjut dari kegagalan mereka meminta pemerintah meminta maaf atas korban peristiwa di seputar G-30 S/PKI.

Bisa diduga, manuver tersebut memicu reaksi bukan hanya dari pemerintah, melainkan juga sejumlah elemen yang pernah terlibat langsung dalam konflik tersebut. Mereka yang pro-IPT meyakinkan bahwa permintaan maaf adalah untuk mereka yang menjadi korban, sedangkan pihak kontra melihat dalam perspektif lebih luas sebagai upaya kekuatan komunis menghapus jejak pengkhianatan terhadap bangsa ini sekaligus menunjukkan indikasi bangkitnya kekuatan tersebut di ranah politik Tanah Air. Belum lagi persoalan tentang tempat digelarnya, yakni Belanda.

Reaksi keras dari mereka yang kontra memang bisa dinalari. Pasalnya, peristiwa yang disebut sebagai pembantaian terbesar dan tersignifikan pada abad ke-20 sebagai peristiwa aksi-reaksi dari pertarungan politik memperebutkan kekuasaan. Dengan demikian, korban yang ditimbulkan sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung, terutama oleh mereka yang kalah.

Fakta sejarah menunjukkan, peristiwa 65 dengan dampaknya merupakan rangkaian panjang dari manuver komunis untuk memegang kendali di negeri ini, seperti ditunjukkan dalam pemberontakan Madiun 1948 dan berbagai aksi sepihak komunis di Tanah Air. Terlepas dari adanya berbagai teori, tak terbantahkan komunislah yang memicu tragedi 1965.

Hasilnya, gerakan mereka gagal. Penyebabnya bisa karena berbagai hal: tidak utuhnya konsolidasi internal PKI dan sayapnya, kalah kuat dengan TNI AD dan kekuatan kelompok agama, terjebak konspirasi, dan lainnya. Faktanya, komunis kalah dan mereka harus menanggung akibatnya. PKI dibubarkan dan tokohnya pun dihabisi. Jika semisalnya fakta terbalik, kondisi tidak jauh berbeda, bahkan bisa jadi jauh lebih parah seperti watak pembantaian yang mereka tunjukkan sebelumnya.

Sejarah ditulis oleh pemenang, demikian kata Winston Churchil. Di Indonesia, PKI menjadi pesakitan dan harus menderita akibat kekalahan mewujudkan syahwat berpolitiknya. Kondisi sama juga berlaku di mana komunis Rusia yang sukses melakukan revolusi Bolshevik, dengan menggulingkan kelompok nasionalis dan menguburkan selamanya kekuatan monarki di negeri. Begitu pun di China, komunis sukses besar mengalahkan kelompok nasionalis, dan revolusi Kuba yang mengalahkan rezim diktator.

Siapa yang menjadi korban? Ingatan bangsa ini tentang rangkaian pembantaian yang dilakukan komunis, termasuk menjelang 1965. Doktrinasi tujuh setan desa yang harus dibinasakan memicu berbagai kasus pembunuhan terhadap kiai, tuan tanah, pengambilalihan lahan secara paksa, dan berbagai provokasi yang menempatkan komunis secara horizontal berhadapan dengan berbagai elemen lain, termasuk kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) dan TNI AD.

Apakah para kiai, tuan tanah, atau mereka yang menjadi korban PKI bukan sebagai korban seperti dimaksud dalam tuntutan IPT? Begitu juga dengan Gubernur Suryo yang menjadi korban pada 1948 dan sejumlah jenderal TNI AD pada 1965? Kenapa Todung dan Nursjahbani tidak memperjuangkan hak mereka yang notabene lebih dulu menjadi korban komunis. Jika yang dipersoalkan fokus pada mereka yang tidak bersalah, apakah benar jumlah massal seperti dituduhkan?

Karena itu, mempersoalkan korban tragedi 65 akan selalu memicu pertentangan, karena ujungnya adalah memperebutkan dominasi kebenaran dan ketidakbenaran. Mestinya peristiwa tersebut hanya sebagai realitas sejarah. Jika ada anomali di dalamnya, bukankah Presiden Gus Dur sekaligus mantan ketua umum PBNU sudah pernah meminta maaf?
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5093 seconds (0.1#10.140)