RI-Malaysia Jamin Tak Ada Penangkapan Nelayan di Selat Malaka

Kamis, 12 November 2015 - 06:00 WIB
RI-Malaysia Jamin Tak Ada Penangkapan Nelayan di Selat Malaka
RI-Malaysia Jamin Tak Ada Penangkapan Nelayan di Selat Malaka
A A A
JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Malaysia menjamin keamanan pelayaran bagi para nelayan dari kedua negara yang melakukan aktivitas di Selat Malaka.

Langkah tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan, sekaligus tindak lanjut dari evaluasi penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) mengenai Common Guidelines yang dilaksanakan di Johor Bahru, Malaysia awal bulan ini.

"Dengan adanya MoU ini maka tidak ada lagi penangkapan nelayan yang berlayar maupun melakukan aktivitas mencari ikan di wilayah yang masih belum selesai batas maritimnya (abu-abu) di Selat Malaka," ujar Kasie Hukum Internasional Bakamla Mayor Maritim Hudiansyah Is Nursal, Rabu (11/11/2015).

Menurut Hudiansyah, MoU ini menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum kedua negara dalam memperlakukan nelayan di area tersebut.

"Bila ada nelayan yang masuk ke dalam area abu-abu, maka petugas patroli hanya melakukan inspeksi dan meminta nelayan untuk meninggalkan wilayah tersebut. Tidak ada penangkapan," tegasnya.

Penangkapan dapat dilakukan petugas, apabila nelayan kedapatan melakukan aktivitas penangkapan dengan menggunakan bahan-bahan yang dilarang dalam kesepakatan tersebut. Misalnya, menggunakan bahan peledak, kimia, dan listrik.

"Penangkapan juga bisa dilakukan apabila nelayan jelas-jelas masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia atau Malaysia. Sebab, di sini jelas batas maritimnya," ucapnya.

Hudiansyah mengakui, masih ada nelayan dari kedua negara yang melanggar batas dan masuk ke perairan dari dua negara tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, pada 2014 jumlah nelayan Indonesia yang masuk ke perairan Malaysia sebanyak 19 kasus. Jumlah ini meningkat pada 2015 menjadi 31 kasus.

"Memang nelayan kita nekat-nekat, meski menggunakan kapal kecil tapi berani berlayar jauh ke tengah, untuk itu sosialisasi akan terus ditingkatkan," ucapnya.

Sedangkan, nelayan Malaysia yang ditangkap karena masuk perairan Indonesia pada 2014 sebanyak 10 kasus. Jumlah tersebut meningkat menjadi 12 kasus pada tahun ini. Sementara, nelayan yang diusir karena masuk wilayah abu-abu sejauh ini masih dalam proses
pendataan.

"Hasil pertemuan ini kami juga menyepakati perlunya komunikasi langsung antar focal point kedua negara apabila terjadi pemeriksaan dan penahanan terhadap nelayan masing-masing," ucapnya.

Hudiansyah menambahkan, sebelum ada kesepakatan tersebut, insiden penangkapan di wilayah yang batas maritimnya belum disepakati kerap terjadi. Bahkan, menimbulkan ketegangan hubungan kedua negara.

Dia mencontohkan, insiden Tanjung Rakit pada Agustus 2010 saat petugas DKP Provinsi Kepulauan Riau yang menangkap satu nelayan Malaysia. Namun, petugas tersebut malah ditangkap oleh Marine Police Malaysia.

"Kemudian insiden pada April 2011, saat Bakorkamla menggelar Operasi Gurita dengan Kapal Hiu 001 menangkap kapal nelayan Malaysia tapi diprovokasi oleh helikopter Malaysia dari TDLM. Dua kejadian merupakan puncak gunung es, sebab banyak kejadian-kejadian di wilayah tersebut," ucapnya.

Hudiansyah menyebutkan, saat ini ada lima area yang masuk dalam Common Guidelines yakni di Selat Malaka, kemudian Selat Malaka bagian selatan. Selain itu, Selat Singapura. Namun, ini harus diselesaikan dahulu masalah antara Malaysia dan Singapura. Kemudian, di Laut China Selatan dekat Natuna dan Laut Sulawesi antara Tarakan dan Malaysia.

Kepala Kantor Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut Bakamla Kolonel Maritim Arief Meidyanto menjelaskan, dengan teknologi yang dimiliki Bakamla saat ini bisa diketahui dengan jelas area abu-abu.

Dengan demikian, akan terpantau nelayan dari kedua negara yang masuk ke wilayah abu-abu maupun yang melanggar batas perairan Indonesia maupun Malaysia.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8387 seconds (0.1#10.140)