Asumsi Pembakaran Lahan Bisa Suburkan Tanah Salah

Selasa, 06 Oktober 2015 - 08:28 WIB
Asumsi Pembakaran Lahan Bisa Suburkan Tanah Salah
Asumsi Pembakaran Lahan Bisa Suburkan Tanah Salah
A A A
JAKARTA - Masyarakat perlu diedukasi kembali mengenai penyuburan lahan dengan pembakaran. Sebab praktik itu bukannya menyuburkan lahan namun dapat melenyapkan unsur hara.

Ahli Tata Kelola Air dan Hidrologi Universitas Sriwijaya (Unsri) Momon Sodik Imanudin mengatakan, masyarakat perlu diedukasi bahwa kegiatan membakar lahan tidak akan menyuburkan tanah melainkan membuat unsur hara lenyap dengan mudah melalui aliran air dan udara.
"Sebagian besar masyarakat merasa bahwa membakar akan membuat tanah lebih subur. Memang benar karena mendapatkan unsur hara cepat, tapi harus dingat ini hanya terjadi untuk tahun pertama karena pada tahun kedua dan seterusnya, semuanya sudah lenyap," kata Momon Sodik dalam siaran pers, Selasa (6/10/2015).
Dia mengatakan, ketika dibakar unsur hara ini menjadi mudah hilang karena tidak ada kesempatan tersimpan di dalam tanah mengingat lahan yang terbakar sangat rawan erosi. Kondisi ini sangat berbeda jika pembersihan lahan tanpa dibakar.

Menurutnya, humus ada kesempatan untuk bersembunyi di dalam tutupan tanah, semisal daun kering maka ada waktu untuk pembusukan. "Jika musim hujan tiba, maka semua unsur hara ini akan tersapu ke sungai, belum lagi jika menghitung biota penyubur tanah lainnya yang turun mati akibat dibakar seperti cacing tanah, jangkrik, dan tringgiling," ucapnya.

Momon mengatakan, berdasarkan riset lembaga terkemuka, kerugian akibat kehilangan unsur hara ini mencapai Rp65 juta per hektare. Angka nominal ini didapatkan berdasarkan asumsi atas kehilangan unsur N dan C hingga 97 persen.

Akibatnya, petani akan merasakan dampaknya secara bertahap pada masa mendatang dengan ditandai penurunan produksi lahan. Dia mencatat, di Sumatera Selatan data terakhir mencatat sebanyak 9.300 hektare lahan terbakar dan 99 persen akibat ulah manusia.
"Jika ini terjadi pada perkebunan sawit maka buahnya tidak ada sebanyak yang dihasilkan lahan yang tidak dibakar, jika ini pada perkebunan ubi maka hasilnya akan kurus-kurus," ujarnya.
Sementara untuk memulihkan lahan yang terbakar, menurut Momon bukan perkara mudah. Berdasarkan penelitiannya di kawasan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), setidaknya dibutuhkan waktu lima tahun dengan biaya Rp5 juta per hektare per tahun dengan menggunakan teknologi.
"Jika ini pembakaran lahan ini berlangsung terus menerus maka tanah akan menjadi lapar, atau terus menerus ingin makan karena unsur haranya berkurang. Tanah harus dipupuk terus dan dosisnya terpaksa ditambah terus. Akhirnya kerusakan tanah tidak dapat terelakkan lagi," kata ahli asal Fakultas Pertanian ini.
Tak sebatas menyosialisasikan agar masyarakat tidak membakar lahan, menurutnya, yang terpenting dilakukan yakni membuat kompensasi agar petani tidak membakar lahan.
"Dapat dengan cara menyediakan eskavator, traktor, dan petugas di setiap desa di saat musim tanam. Ini lebih konkret. Jika kurang dana, pemerintah dapat memanfaatkan bantuan koorporasi, dan bantuan dari negara tetangga, data kawasan-kawasan yang masyarakatnya berpotensi membakar kemudian sediakan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5713 seconds (0.1#10.140)