Agama-agama Harus Bertemu pada Titik Kemanusiaan

Jum'at, 04 September 2015 - 18:12 WIB
Agama-agama Harus Bertemu pada Titik Kemanusiaan
Agama-agama Harus Bertemu pada Titik Kemanusiaan
A A A
JAKARTA - Setiap agama memiliki perbedaan dalam konsep ketuhanan. Meski berbeda, sangat penting penting bagi umat beragama untuk saling bekerja sama mendorong perdamaian dunia.

“Agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku, namun kita semua brothers and sisters. Agama-agama dapat bertemu dalam etika dan aksi kemanusiaan. Pada titik kemanusiaan ini kita bertemu dan bersatu untuk mendorong perdamaian dunia," ujar Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin.

Din, juga President Asian Conference for Religion for Peace (ACRP), mengungkapkan hal itu dalam sambutan seminar “Bring the Unity of Religions” di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 3 September kemarin.

Seminar ini diselenggarakan Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL) dari Korea Selatan bekerja sama dengan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC).

Dilanjutkan Din, musuh bersama umat beragama bukanlah perbedaan. "Namun persoalan kemanusiaan. Seperti kemiskinan, kesenjangan dan keterbelakangan," ucapnya.

Selain Din, hadir sebagai pembicara antara lain Ketua MUI KH Muhyidin Junaidi, perwakilan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana L Linggaraja, perwakilan umat Budha Indonesia/Walubi Rusli Tan, dan perwakilan dari Protestan Korea Selatan Joseph Jeong.

Semua pembicara menjawab pertanyaan-pertayaan yang sama dari HWPL, di antaranya mengenai nama kitab suci masing-masing, kapan dan bagaimana kitab-kitab itu ditulis, siapa orang yang paling berpengaruh dalam penyebaran agama, dan apa saja teks-teks di dalam kitab suci yang menunjukkan bahwa dunia diciptakan untuk perdamaian.

Berbeda dengan agama-agama pada umumnya, Suprih Suhartono dari MLKI mengatakan, aliran kepercayaan tidak memiliki kitab suci, namun dalam bentuk buku ‘panduan kehidupan’ yang dikenal dengan Hidup Bahagia yang Diakhiri dengan Mencapai Kasampurnan Jati, ditulis pada tahun 1955 dan tidak mengalami perubahan sampai sekarang.

“Kasampurnaan jati adalah capaian perdamaian,” ujarnya sambil meneruskan, titik temu dengan umat beragama lain dalam hal membangun perdamaian.

Sementara Muhyidin Junaidi dari MUI mengatakan, Islam adalah agama perdamaian. Jika ada seorang muslim yang melakukan tindak kekerasan, menurut Muhyidin, maka dia bukanlah muslim yang sejati.

Rusli Tan dari Walubi menyebutkan, Budha mengajarkan agar umat manusia terbebas dari penderitaan, menunjukkan perlunya kerja sama antar umat beragama untuk kemanusiaan dan perdamaian.

Uung Sendana dari Matakin menguraikan tahapan-tahan dalam mencapai perdamaian, yaitu cukupnya pengetahuan yang dimiliki, setelah itu keinginan yang kuat. Dengan keinginan yang kuat seseorang bisa menguatkan hatinya, dengan hati yang kuat ia bisa menyelesaikan permasalahan keluarga maupun bangsanya untuk mencapai perdamaian.

Joseph Jeong dari Protestan menegaskan, Tuhan yang menciptakan segala isinya adalah kasih, dan kitab suci mengajarkan semua ciptaan Tuhan harus saling mengisi karena Tuhan, yang adalah kasih, menciptakan dunia.

Direktur Eksekutif CDCC Alpha Amirrachman menengarai, primordialisme masih sangat kental pada masyarakat Indonesia. Karena itu dialog antar umat beragama, baik antara pemimpin maupun umatnya, tetap perlu untuk ditempuh. “Persoalan nonagama seperti sosial–ekonomi dapat dengan mudah menyulut pertikaian bernuansa agama,” ujarnya.

Alpha menambahkan, HPWL akan secara rutin menggelar dialog antar umat beragama bekerja sama dengan CDCC. “Ke depan kita akan memperluas segmen anggota masyarakat untuk terlibat dalam dialog ini, sehingga komitmen umat beragama untuk bertemu di titik kemanusiaan akan semakin kokoh,” pungkasnya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.3325 seconds (0.1#10.140)