2 Catatan Penting Jelang 70 Tahun Indonesia

Senin, 17 Agustus 2015 - 06:24 WIB
2 Catatan Penting Jelang 70 Tahun Indonesia
2 Catatan Penting Jelang 70 Tahun Indonesia
A A A
SEJAK era reformasi perkembangan demokrasi di Indonesia semakin baik. Kebebasan berekspresi dan berpendapat semakin terakomodir. Masyarakat tidak lagi harus takut akan risiko dipenjara atau ditangkap ketika menyampaikan kritik kepada penguasa maupun pejabat negara yang diduga menyimpang atau tidak maksimal dalam menajalankan tugasnya.

Kondisi ini sangat berbeda di rezim Orde Baru (Orba) di mana suara kritis, kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat dibungkam melalui undang-undang yang diciptakan rezim pada saat itu. Berani menyinggung kenyamanan penguasa saat itu, risikonya adalah ditangkap dan disiksa secara diam-diam.

Sayang, menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-70 diwarnai beberapa persoalan yang mengusik demokrasi selama ini berkembang baik.
Harusnya di alam demokrasi kebebasan beragama dan saling menghormati dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing dijunjung tinggi.

Nilai demokrasi yang selama ini dibanggakan bangsa Indonesia ternodai adanya insiden di Tolikara, Papua, dengan penyerangan oleh sekelompok massa kepada masyarakat muslim Papua ketika melaksanakan Salat Idul Fitri. Aksi ini sangat mengganggu toleransi beragama yang telah terjalin di sana.

Menjelang perayaan HUT RI ke-70 ini, potensi ancaman terhadap demokrasi juga muncul adanya upaya untuk menghidupkan kembali pasal mengenai penghinaan kepada presiden. Pasal ini dimasukkan dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly ke DPR.

Bagi sebagian besar masyarakat, pasal mengenai penghinaan kepada presiden seperti pasal karet yang rawan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Pasal seperti ini pernah diterapkan di rezim Orba dan sangat efektif untuk membungkam suara kritis masyarakat.

Padahal, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal mengenai penghinaan itu (154 dan 155 KUHP). MK berpendapat, pasal tersebut berlawanan dengan konstitusi (UUD 1945), yakni kemerdekaan menyatakan pendapat.

Poin mengenai penghinaan kepada presiden yang diajukan Pemerintahan Jokowi dicantumkan dalam draf revisi KUHP pada Bab II mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bab II pada bagian kedua, Pasal 263 menyebutkan:

(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Selanjutnya, Pasal 264 menyebutkan: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Sangat disayangkan menjelang perayaan HUT RI ke-70 masyarakat harus dikejutkan dengan dua persoalan tersebut. Ini bisa dikatakan sebagai noda bagi alam demokrasi sedang berkembang di negara merdeka.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2967 seconds (0.1#10.140)