Keheranan Kita Akan Ijazah Bodong

Sabtu, 30 Mei 2015 - 09:27 WIB
Keheranan Kita Akan Ijazah Bodong
Keheranan Kita Akan Ijazah Bodong
A A A
Kalau berusaha menilai siapa yang paling bersalah antara kampus-kampus penyedia ijazah bodong dengan para konsumen pembeli ijazah bodong, maka kita semua akan sulit mengambil keputusan.

Kedua pihak sama-sama memanfaatkan situasi yang memungkinkan tindakan curangnya, apalagi pengawasan dari pemerintah sebagai pembuat regulasi relatif minim. Para penyedia ijazah bodong adalah orang-orang curang beride banyak yang mampu melihat potensi bisnis dalam masyarakat Indonesia yang mengagungkan titel gelar akademik. Mungkin sedikit saja tak tebersit dalam pikirannya mengenai nasib pendidikan Indonesia jika fenomena ijazah bodong ini kian ramai.

Mereka hanya memanfaatkan kesempatan yang lahir karena minimnya pengawasan. Sementara dari sisi demand, para konsumen ijazah bodong adalah orang-orang yang ingin serbainstan. Mereka tidak peduli konsep pendidikan yang lebih menekankan pada proses dibandingkan hasil. Bagi mereka yang penting punya gelar berderet, urusan usaha itu nomor ke sekian.

Ada pengaruh juga dari persepsi masyarakat kita tentang gelar akademik bahwa makin tinggi gelarnya makin baik. Masalah dari demand side ini menjadi krusial karena gelar akademik sering kali dijadikan prasyarat untuk banyak kenaikan pangkat dalam birokrasi pemerintah ataupun beberapa posisi di swasta. Alhasil bagi banyak orang, jalan instan dianggap jalan yang menyenangkan, apalagi orang-orang yang memang sudah sedari awal berniat menyalahgunakan jabatannya.

Namun, apakah salah pandangan bahwa makin tinggi gelar makin baik? Tentu tidak salah. Pandangan itu lahir dari semangat mengagungkan pencapaian akademik yang sama sekali tidak instan, sehingga pencapaian akademik yang mumpuni adalah bentuk apresiasi dari usaha individu. Sayangnya, tingkat kesulitan akademik yang tinggi inilah dimanfaatkan orang-orang berpikiran sempit namun berakal panjang untuk mengakali situasi.

Dalam menilai orang-orang curang ini, kita harus put ourselves in their shoes. Berbagai pertanyaan seputar apakah mereka merasa malu atau merasa bersalah tidak relevan untuk orang-orang yang memang sejak awal ingin bermain curang. Mereka ini adalah orang-orang yang sudah mau membohongi dirinya sendiri, sehingga membohongi orang lain itu hanyalah part of the game. Lalu, apakah kasus ijazah bodong ini baru? Jawabannya sama sekali tidak. Kasus ini adalah kasus yang berulang.

Selalu saja dalam kepemimpinan hampir semua menteri pendidikan—atau sekarang Menteri Riset dan Dikti—muncul kasus ijazah palsu. Modus operandinya pun itu-itu saja sehingga harusnya tak sulit bagi pemegang regulasi untuk mencegahnya. Terlebih lagi para birokrat harusnya sudah punya insting yang tinggi dalam melihat potensi kecurangan ketika ada suatu perguruan tinggi baru yang akan dibuka.

Para birokrat ini dari hari ke hari pasti sudah tahu mana perguruan tinggi yang memang benar-benar mau membangun pendidikan Indonesia dan mana yang hanya ingin mengambil keuntungan instan. Nyaris tidak mungkin jika para birokrat di Kementerian Riset dan Dikti tidak bisa langsung membaca gelagat buruk dari calon penyelenggara pendidikan. Menteri Ristek dan Dikti M Nasir jangan hanya mengandalkan sidak dalam menyelesaikan masalah menahun ini.

Menteri Nasir harus menyadari bahwa sistem yang baik dan ketat akan menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan aturan. Jangan berpuas diri dengan para bawahan yang mengatakan bahwa sistemnya sudah berjalan baik. Kalau pola itu yang dijalankan maka hanya menunggu waktu saja hingga terjadi masalah yang lebih besar dan merugikan posisi sang menteri.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7594 seconds (0.1#10.140)