Merger BUMN

Kamis, 21 Mei 2015 - 10:24 WIB
Merger BUMN
Merger BUMN
A A A
Senin (18/5) sore Presiden Joko Widodo memanggil 119 petinggi BUMN ke Istana. Pertemuan itu bersifat tertutup. Ada apa?

Rupanya rapat itu membahas agenda pembentukan holding company (perusahaan induk) BUMN. Salah satu yang diminta cepat bergabung adalah BUMN pelabuhan, yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV. Penggabungan ini menjadi penting mengingat rencana besar pemerintah untuk membangun ”tol laut”.

Saya membayangkan jika empat perusahaan ini digabung, asetnya pasti akan langsung membesar. Begitu pula modalnya. Kalau aset itu bisa kita leverage, nilainya bisa menggelembung menjadi lima atau enam kali lipat. Bahkan bisa lebih, tergantung pada prospek industrinya. Buat Anda yang masih asing, kata leverage bisa kita analogikan begini.

Kalau kita memasukkan secuil sabun dan sedikit air ke dalam botol, kemudian botol itu kita kocok-kocok, ia akan menghasilkan gelembung-gelembung yang membuat botol terisi penuh. Lalu buihnya juga dapat dipakai sama seperti air kental di bawahnya. Kurang lebih seperti itulah konsep financial leverage.

Saya dengar cerita dari salah satu eksekutif BUMN pelabuhan yang perusahaannya akan mendapat penyertaan modal negara senilai Rp5 triliun. Melalui rekayasa keuangan, mestinya modal tersebut bisa di-leverage menjadi sekitar Rp30 triliun. Dana sebesar itu tentu cukup untuk membangun dan membenahi sejumlah pelabuhan.

Maka, tak terbayang kalau empat BUMN pelabuhan berhasil digabungkan. Dana yang diperoleh tentu akan jauh lebih besar. Dan investor akan tertarik untuk ikut menanamkan modalnya karena prospek bisnis pelabuhan sangat menjanjikan. Sejalan dengan konsep tol laut yang ingin dikembangkan pemerintah.

Isu Lama

Rencana pembentukan holding company BUMN yang memiliki bidang usaha sama sebenarnya sudah digagas sejak lama. Gagasan ini antara lain pernah dilontarkan Sofyan Djalil semasa ia menjabat sebagai menteri negara BUMN pada 2007-2009 di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahkan setahu saya Menteri Sofyan sempat berdiskusi dengan Budi Setiadharma, mantan CEO PT Astra International Tbk. Astra International adalah perusahaan induk yang mampu secara efektif mengelola anakanak usahanya. Konsep itulah yang ingin dipelajari Menteri Sofyan. Sayangnya ketika itu ide pembentukan holding company BUMN belum berhasil direalisasi.

Banyak tantangan yang menghadang. Itu artinya butuh pimpinan yang tak dapat digoyang. Meski begitu ide ini tidak menguap begitu saja. Ada hasilnya. Pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—melalui Menteri BUMN Dahlan Iskan—berhasil meng-holdingkan BUMN pupuk serta BUMN permesinan dan teknologi.

Di industri pupuk, pemerintah berhasil menggabungkan empat perusahaan pupuk (PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, dan PT Petrokimia Gresik) dengan PT Pupuk Sriwidjaja. Belakangan PT Pupuk Sriwijaya berganti nama menjadi PT Pupuk Indonesia Holding Company.

Di industri permesinan, PT Barata Indonesia berhasil merger dengan PT Boma Bisma Indra (BBI). Konsepnya, Barata Indonesia akan mengakuisisi BBI. Setelah bergabung, Barata Indonesia akan fokus membuat mesin-mesin untuk pabrik gula dan pabrik baja. Sementara BBI akan fokus memasok mesinmesin untuk pabrik CPO.

Hanya pembentukan holding company BUMN untuk bidangbidang usaha yang lain tidak secepat yang saya bayangkan. Mestinya sejak beberapa tahun lalu kita sudah memiliki holding company untuk BUMN perkebunan, kehutanan, pertambangan, asuransi, dan bahkan perbankan sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Nyatanya itu belum terjadi.

Di sektor perbankan, misalnya, bank terbesar kita, Bank Mandiri, masih kalah besar ukurannya dibandingkan dengan bankbank besar milik negara tetangga seperti Maybank dari Malaysia atau DBS Bank di Singapura.

Soal Nyali

Kalau mau bersaing dengan perusahaan lain di luar negeri, memang size is matter. Ukuran jadi penting karena di sana ada masalah efisiensi, skala ekonomis, dan kemampuan keuangan yang harus kuat. Fenomena semacam ini sudah disadari pemerintahan di beberapa negara. Singapura, misalnya, memiliki BUMN yang ukurannya luar biasa besar, Temasek.

Dengan ukurannya yang begitu besar, ekspansi Temasek menyebar hingga lima benua. Ada 41 perusahaan Temasek yang beroperasi di China, sebagian lainnya di Amerika Serikat dan Eropa. Begitupula Malaysia memiliki Khazanah sebagai holding company BUMN di negara itu. Sampai akhir 2013, total aset Khazanah mencapai USD41,1 miliar atau lebih dari Rp500 triliun.

China pernah memiliki sekitar 127.000 BUMN. Mereka kemudian menerapkan konsep grasp the large and let go of the small. Intinya, China mempertahankan BUMN-BUMN yang besar dan melepas yang kecil. Agar semakin membesar, BUMN yang sudah besar itu ditambah modalnya seperti yang tengah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini dan bahkan beberapa dimerger.

Ini mereka lakukan agar BUMNnya mampu bersaing di tingkat internasional. Hasilnya, kita melihat Sinopec dan CNOOC, BUMN migas asal China—yang merupakan hasil merger dari beberapa BUMN migas lainnya—begitu tangguh bersaing di pasar internasional.

Sebagai national oil company (NOC), keduanya sanggup berhadapan dengan raksasa migas kelas dunia atau international oil company (IOC) semacam Shell, BP, atau Exxon. Melihat pengalaman di beberapa negara tersebut, saya rasa sudah waktunya BUMN-BUMN kita melewati tahap transformasi gelombang kedua. Pada transformasi tahap pertama, kita sudah lakukan berbagai upaya untuk melakukan restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi BUMN-BUMN kita.

Restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan daya saing BUMN kita baik melalui perbaikan skala usaha, penajaman fokus bisnis maupun menciptakan kompetensi inti. Profitisasi dilakukan melalui efisiensi usaha sehingga meningkatkan profit perusahaan. Kita juga sudah melakukan privatisasi.

Kita menjual sebagian kepemilikan BUMN baik melalui penjualan langsung kepada investor asing maupun melalui bursa efek di dalam dan luar negeri. Tapi, itu semua belum mampu menjadikan BUMN-BUMN kita menjadi pemain-pemain yang tangguh baik di pasar domestik maupun internasional.

Maka, saya kira sudah waktunya kita melakukan gelombang kedua transformasi BUMN. Di antaranya dengan menggabungkan BUMN-BUMN kita agar nyalinya lebih besar dan lebih efisien serta sanggup bersaing di pasar internasional. Upaya untuk mewujudkan hal itu jelas tidak mudah.

Resistensi ada di mana-mana. Di negara kita, politik tengah menjadi panglima. Isu-isu semacam ini tentu rawan dipolitisasi. Maka, untuk mewujudkan transformasi gelombang kedua, kita betul-betul membutuhkan pemimpin yang punya nyali.

Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0626 seconds (0.1#10.140)